Selasa, 01 Mei 2012

Daya Terima Makanan/ Gizi Pasien di Rumah Sakit

A.   Pengertian Daya Terima Makanan
Daya terima makanan merupakan makanan yang habis dikonsumsi sedangkan sisa makanan (waste) merupakan makanan yang tidak habis termakan dan dibuang sebagai sampah (Azwar,1990) sedangkan menurut Murwani (2001) yang dimaksud sisa makanan pasien adalah semua atau sebagian makanan yang disajikan kepada pasien dan benar-benar dapat dimakan, tetapi tidak habis dimakan atau tidak dimakan dan dibuang sebagai sampah.
B.   Cara Mengukur Daya terima Makanan
Daya terima makanan dapat diukur dengan menggunakan beberapa cara :
1.   Weighed Plate Waste
Metode ini biasanya digunakan untuk mengukur sisa makanan setiap jenis hidangan atau untuk mengukur total sisa makanan pada individual maupun kelompok. Metode ini mempunyai kelebihan dapat memberikan informasi yang lebih akurat/teliti. Kelemahan metode penimbangan ini yaitu memerlukan waktu, cukup mahal karena perlu peralatan dan tenaga pengumpul data harus terlatih dan terampil.
2.   Observasional Methode
Pada metode ini sisa makanan diukur dengan cara menaksir secara visual banyaknya sisa makanan untuk setiap jenis hidangan. Hasil taksiran bisa dalam bentuk berat makanan yang dinyatakan dalam gram atau dalam bentuk skor bila menggunakan skala pengukuran.
3.   Self-Reported Consumption
Pengukuran sisa makanan individu dengan cara menanyakan kepada  responden tentang banyaknya sisa makanan. Pada metode ini responden yang menaksir sisa makanan menggunakan skala taksiran visual (Herni Astuti, 2002).
C.   Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Terima Makanan
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi daya terima makanan pasien di rumah sakit. Lau dan Gregoire tahun 1998 dalam penelitiannya membuktikan bahwa kualitas makanan perlu diperhatikan agar dapat meningkatkan kepuasan pasien. Kualitas makanan merupakan indikator penting terhadap tingkat kepuasan pasien.
Makanan yang mempunyai cita rasa tinggi adalah makanan yang apabila disajikan akan menyebarkan aroma yang lezat, penampilannya menarik dan mempunyai rasa yang enak. Cita rasa makanan terdiri dari dua aspek yaitu penampilan makanan pada saat dihidangkan dan rasa makanan pada waktu makanan itu dimakan (Syahmien Moehyi, 1992).
1.   Penampilan Makanan
Penampilan makanan adalah faktor mutu yang sangat mempengaruhi penampakan suatu produk pangan (Basuki, 1997). Baik bagi makanan yang  tidak diproses maupun bagi makanan yang diproses (dimanufaktur). Makanan yang disajikan dengan menarik akan dipengaruhi oleh beberapa faktor antar lain ukuran, bentuk, tingkat kesukaan, warna, kekentalan dan sebagainya (Astutik Pudjirahayu, 2001).
a.    Warna makanan
Warna makanan memegang peranan penting dalam penampilan    makanan, dari warna makanan tersebut dapat dilihat bahwa makanan tersebut masih berkualitas baik atau sudah jelek. Warna juga dapat digunakan sebagai indikator kematangan makanan. Apabila makanan yang dihidangkan tidak menarik maka betapapun lezatnya rasa makanan tersebut, akan dapat menurunkan selera orang yang memakannya (Soekresna, 2000).
b.   Bersar porsi / ukuran makanan
Besar porsi makanan yang dihidangkan bukan hanya mempengaruhi penampilan makanan waktu disajikan tetapi juga berkaitan dengan perencanaan dan perhitungan pemakaian bahan yang digunakan.
c.    Tekstur / konsistensi makanan
Faktor tekstur adalah rabaan oleh tangan, keempukan, mudahnya dikunyah dan sebagainya. Tekstur makanan yang berkonsistensi keras akan memberikan rangsangan yang lambat terhadap panca indera sedangkan yang bertekstur empuk akan mempermudah dalam mengunyah. Tekstur suatu makanan juga ditentukan oleh indera perasa yaitu mulut karena adanya rangsangan fisik yang ditimbulkan.
d.   Bentuk makanan yang disajikan
Bentuk makanan terdiri dari berbagai macam tergantung dari   kebutuhannya. Bentuk makanan yang menarik dan serasi akan mempunyai daya tarik tersendiri bagi orang yang memakannya (Syahmien Moehyi, 1992).
2.   Rasa Makanan
Cita rasa makanan ditentukan oleh indera pengecap dan indera penciuman. Komponen-komponen yang berperan dalam penentuan rasa makanan adalah aroma makanan, bumbu makanan,  kerenyahan / tingkat kematangan makanan dan temperatur makanan.
a.    Aroma makanan
Aroma makanan terbentuk karena senyawa yang menguap sebagai akibat dari reaksi enzim. Aroma merupakan rasa dan bau yang sangat subjektif dan sangat sulit untuk di ukur. Aroma yang disebarkan tersebut dapat menarik selera karena merangsang indera penciuman. Faktor aroma dapat berupa bau dan rasa, misalnya rasa manis, asam, pahit, asin, harum dan sebagainya (Astutik Pudjirahayu, 2001).
b.   Bumbu makanan
Bumbu masakan akan memberikan cita rasa yang khas sehingga dapat membangkitkan selera yang memakannya. Rasa yang diberikan oleh setiap  jenis bumbu itu akan berinteraksi dengan bahan lain sehingga timbul rasa baru yang lebih nikmat. Bumbu masakan yang digunakan berupa rempah-rempah (cabe, bawang merah, bawang putih, ketumbar, jintan) dan lain-lain sebagainya.
c.    Kerenyahan makanan
Kerenyahan makanan adalah makanan yang setelah di masak akan enak dimakan, kering tetapi tidak keras. Makanan yang renyah akan sangat berfungsi terhadap cita rasa makanan. Tingkat kematangan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap cita rasa makanan (Syahmien Moehyi, 1992).
d.   Suhu makanan
Makanan yang dihidangkan harus sesuai dengan suhunya karena akan mempengaruhi cita rasa. Makanan yang dihidangkan terlalu panas maupun terlalu dingin akan mempengaruhi sensitifitas syaraf pengecap terhadap  cita rasa (Syahmien Moehyi, 1992).
Hasil penelitian Annis Catur Adi dan Hermin Waskitorini di RSUD Kertosono Kabupaten Nganjuk terhadap menunjukkan hasil bahwa rasa (bumbu, aroma, tekstur, suhu), penampilan (warna, bentuk, besar porsi) dan variasi makanan termasuk kategori cukup. Sisa makanan responden rata-rata sebesar 19,12% dari porsi awal. Pada umumnya sisa makanan pokok, lauk nabati, sayur dan snack berada dalam kategori cukup (10,1% - 50,0%), sedangkan sisa lauk pauk hewani dan buah sudah berada dalam kategori sangat baik (<1,0%).
3.   Pelayanan Makanan
Pelayanan makanan berarti mengantarkan atau menyajikan makanan dan minuman kepada pasien selama pasien tersebut dirawat di rumah sakit. Pelayanan yang baik adalah menyediakan dan mengantarkan makanan dengan cara yang efisien dan dikombinasikan dengan teknik pelayanan yang cepat, penuh perhatian, dan sopan. Pelayanan yang cepat dan menyenangkan akan mempengaruhi kepuasan pasien yang dilayani. Pelayanan berkaitan erat dengan hubungan antar manusia. Oleh karena itu pelayanan harus ramah dan memuaskan (Nursiah A Mukri, 1990)
Dube tahun 1994 menyatakan, perasaan kepuasan pasien terhadap pelayanan gizi dapat diidentifikasi menjadi tujuh dimensi yang mempengaruhi yaitu : kualitas makanan, ketepatan waktu penyajian, reliabilitas pelayanan, temperatur makanan, sikap petugas yang melayani pasien makan, sikap petugas distribusi makanan, dan perlakuan lain terhadap pasien.
4.   Kebersihan Makanan
Makanan yang baik harus memperhatikan aspek-aspek kesehatan. Makanan tersebut harus aman bila dikonsumsi oleh pasien. Untuk mendapatkan makanan yang higiene maka peralatan yang digunakan untuk memasak, tenaga pengolah dan cara pengolahan yang benar harus diperhatikan (Soekresno, 2000).
Kebersihan hidangan yang disajikan pada hakekatnya mencakup kebersihan makanan dan minuman, yang merupakan hygiene makanan serta kebersihan dari lingkungan, yang biasa disebut dengan sanitasi makanan. Sanitasi makanan tidak dapat dipisahkan dengan sanitasi lingkungan karena sanitasi makanan merupakan usaha untuk mengamankan dan menyelamatkan makanan agar tetap bersih, sehat dan aman (Retno W dan Yuliansyah, 2002).
5.   Lama Perawatan
Perawatan di rumah sakit akan berpengaruh terhadapap faktor internal penyebab stres karena pasien harus menjalani kehidupan yang berbeda dengan apa yang dialaminya sewaktu berada di rumahnya, seperti apa yang di makan, bagaimana makanan yang disajikan, dengan siapa ia makan, ditambah lagi dengan hadirnya orang-orang yang masih asing baginya yang mengelilingi setiap waktu seperti dokter, perawat, dan petugas medis lainnya.
Semakin lama pasien dirawat di rumah sakit kemampuan untuk beradabtasi dengan lingkungan tempatnya dirawat semakin baik karena pasien sudah memahami dan mengetahui situasi dan kondisi di rumah sakit dan juga penyakit pasien dari hari ke hari akan mengalami perkembangan yang lebih baik.
 Hasil penelitian yang dilakukan Sumirah (1996) mengungkapkan bahwa responden menunjukkan perilaku makan baik pada hari ke III dibandingkan dengan hari I dan ke II,  untuk makanan pokok sebesar 88,8%, lauk hewani 82,8% lauk nabati 76,3% dan sayur 80,0%. Perilaku makan adalah kegiatan dalam memenuhi kebutuhan makanan untuk kebutuhan fisiologis, emosional dan sosial. Pola makan seseorang secara budaya ditentukan oleh kegiatan makan sejak kecil yang dikenalkan berulang-ulang dan diajarkan oleh keluarga, sehingga menjadi kebiasaan (Birch, 1998 ; Clark, 1998).
6.   Kondisi Anoreksia
Anoreksia adalah suatu keadaan adanya gangguan selera untuk mengkonsumsi makanan tertentu yang lebih sering ditandai dengan adanya gejala mual dan muntah. Roger tahun 1999 menyatakan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi macam dan jumlah makanan itu dikonsumsi orang, antara lain  rasa lapar, nafsu makan, rasa kenyang, anoreksia, reaksi sensori berupa respon terhadap rasa, aroma, warna, bentuk dan tekstur makanan, status sosial ekonomi yang akan mempengaruhi ketersediaan pangan dan penilaian seseorang terhadap satu jenis makanan, pendidikan dan pembelajaran tentang makanan yang diperaktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Kumaidi tahun 1994 pada dasarnya ada dua faktor yang mempengaruhi kebiasan makan, yaitu pertama faktor ektrinsik (lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya dan agama serta  ekonomi) dan yang ke dua faktor intrinsik (asosiasi emosional, keadaan jasmani dan kejiwaan yang sedang sakit serta penilaian yang lebih terhadap mutu makanan. Darmojo (1999) mengatakan bahwa nafsu makan dipengaruhi oleh berbagai sebab seperti masalah fisik dan psikologis. Gangguan fungsi makan dapat terjadi sebagai akibat penurunan fungsi alat pencernaan dan panca indera yang disebabkan oleh penyakit, kekakuan dinding perut akibat sensitifitas yang meningkat terhadap bahan makanan tertentu sehingga daya terima makanan pasien berkurang.

1 komentar:

Akmal Sari mengatakan...

boleh gak saya dapatkan informasi siapa azwar (1990) dan muwarni )2004) tentang penilaian daya terima terhadap makanan.
saya butuh info judul buku atau apa ini..sebagai bahan skripsi saya..karna sampai saat ini saya belum mendapatkan literatur yang jelas tentang penilaian daya terima jika dilihat dari sisa makanan..mohon bantuannya..thanks a lot

Posting Komentar