A.
Ekstrak Ikan
Ekstrak ikan merupakan
cairan yang didapat dari ekstraksi daging ikan. Prinsip dasar pembuatan ekstrak
ikan adalah pengeluaran protein plasma (sarkoplasma) dari jaringan ikan
sehingga didapatkan albumin. Tubuh ikan terdiri dari tulang dan daging (otot).
Daging ikan tersusun atas segmen-segmen yang disebut miomer atau miotoma.
Segmen daging ikan tampak jelas pada permukaan tubuh ikan. Miotoma tersusun
secara simetris dari kumpulan benang-benang daging yang disebut endomiosin.
Satu endomiosin tersusun atas benang-benang halus yang disebut miofibril.
Secara mikroskopis dapat diketahui bahwa miofibril tersusun atas dua jenis
miofilamen yaitu protein aktin dan miosin. Kedua jenis miofilamen inilah yang
memegang peranan penting dalam proses kontraksi dan relaksasi otot ikan. Antara
miofibril satu dengan miofibril yang lain terdapat suatu cairan sel yang
disebut sarkoplasma. Albumin merupakan salah satu fraksi protein yang
terkandung dalam sarkoplasma yang merupakan plasma ikan (Suwedo Hadiwiyoto,
1993 dan Eddy Suprayitno, 2003).
Albumin merupakan
protein yang rentan terhadap panas, sehingga suhu dan mekanisme proses harus
diperhatikan dengan baik dan benar. Proses yang baik akan menghasilkan ekstrak
ikan yang berwarna putih kekuningan, tidak banyak endapan dan beraroma khas
ikan. Mekanisme proses lain yang perlu diperhatikan selain suhu, adalah
kualitas daging ikan, pemotongan daging, suhu pemanasan, serta pemakaian
pelarut (Agus Heri Santoso, 2005 dan Winiati Pudji Rahayu, dkk, 1992).
1. Kualitas Daging
Ikan
Kadar protein
sarkoplasma berbeda pada setiap jenis ikan, tipe daging ikan, maupun tingkat
kesegaran daging ikan. Secara umum dapat dikatakan bahwa ikan pelagis (jenis
ikan yang hidup di daerah permukaan perairan) mempunyai kadar protein
sarkoplasma lebih besar dibanding ikan demersal (jenis ikan yang hidup di
daerah perairan yang dalam). Daging putih mengandung protein sarkoplasma lebih
besar dibanding daging merah. Ikan yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan
ekstrak ikan, jika memungkinkan berasal dari ikan yang belum mengalami proses
rigor mortis. Proses rigormortis dapat menurunkan kadar protein sarkoplasma.
Hal ini disebabkab karena proses rigormortis akan menyebabkan protein
sarkoplasma mengalami perubahan sifat menjadi tidak larut air (Winiati Pudji
Rahayu, dkk, 1992 dan Eddy Suprayitno, 2003). Hubungan antara proses
rigormortis dengan penurunan protein sarkoplasma ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hubungan
Proses Rigormotis dengan Protein Plasma
Keadaan Ikan
|
Tipe Daging
|
P. Sarkoplasma (%)
|
P. Miofibril (%)
|
Pra Rigor
Pasca Rigor
|
Merah
Putih
Merah
Putih
|
29,0
37,4
22,5
32,8
|
62,4
59,2
66,1
61,3
|
Sumber : Winiati Pudji Rahayu, dkk, 1992
Berikut ini
merupakan parameter yang menunjukkan ikan bermutu baik atau ikan mengalami
kerusakan:
Tabel 6. Parameter
Mutu Ikan
Parameter
|
Ikan Bermutu Baik
|
Ikan Mengalami Kerusakan
|
Mata
Insang
Lendir
Sisik/Kulit
Kelenturan/Kenyal
Aroma
|
Jernih dan
cembung
Merah dan tidak
busuk
Encer dan aroma
segar
Sisik kuat dan
mengkilat
Lentur/kenyal
segar
|
Keruh dan masuk
ke dalam
Merah/coklat
gelap dan busuk
Kenyal dan aroma
busuk
Sisik mudah
dicabut & kusam
Lembek dan
berair
Busuk
|
Sumber : Agus Heri Susanto, 2005
Protein ikan mempunyai
mutu yang baik karena tersusun dari asam amino esensial dengan kadar yang
tinggi (Agus Heri Santoso, 2001). Kadar beberapa asam amino protein ikan
disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Komposisi
Beberapa Asam Amino dari Protein Ikan
Jenis Asam Amino
|
Kadar Asam Amino (mg/g)
|
Arginin
Sistin
Histidin
Isoleusin
Leusin
Lisin
Methionin
Fenilalanin
Threonin
Triptofan
Tirosin
Valin
|
360
70
130
320
470
560
180
230
280
60
190
330
|
Sumber : Winiati Pudji Rahayu, dkk, 1992
Ikan belut mengandung
senyawa penting yang berguna bagi tubuh manusia diantaranya protein yang cukup
tinggi, lemak, air, dan mineral. Dalam 100 gram daging ikan belut mengandung
protein sebesar 14%, lemak sebesar 27%, zat besi 1,0 mg, kalsium 20 mg, vitamin
A 1600 SI, vitamin B 0,1 mg, dan vitamin C 2,0 mg (Kompas Cyber Media, 2004).
Lebih lanjut, B.
Sarwono (2003) menjelaskan bahwa dalam forum Internasional pun belut
merupakan sumber protein hewani yang dianjurkan. Sebagai sumber gizi, belut
pernah dipromosikan pada Kongres Gizi Asia III di Hotel Indonesia, Jakarta. Zat
gizi yang terdapat pada daging belut lebih tinggi dibandingkan zat gizi yang
terdapat pada telur dengan bobot yang sama. Dari segi sumber penyedia energi,
kandungan kalori belut lebih besar dibandingkan daging sapi. Begitu pula
kandungan vitamin A, belut jauh lebih kaya. Lebih jelasnya, komposisi zat gizi
belut disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Komposisi
Zat Gizi Ikan Belut, Telur dan Daging Sapi per 100 g
Komposisi Gizi
|
Komoditi
|
||
Belut
|
Telur
|
Daging Sapi
|
|
Energi (kal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Fosfor (mg)
Kalsium (mg)
Zat Besi (mg)
Vitamin A (SI)
Vitamin B (mg)
|
303,0
14,0
27,0
0,0
200,0
20,0
20,0
1.300,0
0,1
|
162,0
12,8
11,5
0,7
180,0
54,0
2,7
600
0,1
|
207,0
18,8
14,0
0,0
170,0
11,0
2,8
30,0
0,1
|
Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI, 1971 dalam B. Sarwono
(2003)
2. Pemotongan Daging
Pemotongan daging
dimaksudkan untuk memperkecil ukuran sehingga luas permukaan akan semakin besar.
Semakin besar luas permukaan daging yang bersinggungan dengan panas dan air
semakin tinggi laju ekstraksi. Diketahu bahwa panas dan air meningkatkan
kelarutan protein sehingga dapat mempercepat proses pengeluarn plasma dari
jaringan ikan. Tidak dianjurkan untuk menghancurkan daging ikan gabus, karena
dapat mempercepat penggumpalan selama pemanasan (Agus Heri Santoso, 2005).
Hasil penelitian
dengan cara pemotongan daging yang berbeda juga membuktikan adanya perbedaan kadar
albumin dalam ekstrak ikan yang dihasilkan. Cara pemotongan dengan cara
dicincang oleh Tri Silo Wardanu (2005) menghasilkan ekstrak ikan dengan kadar
albumin 0,23-0,47 g/dl dibanding dengan cara pemotongan yang lebih besar (+1
cm) oleh Illy Hajar Masula (2005) yang menghasilkan ekstrak ikan dengan kadar
albumin 0,127-0,25 g/dl.
3. Suhu Pemanasan
Penerapan suhu
yang tepat dapat meningkatkan rendemen dan kualitas ekstrak ikan, karena
pemanasan akan mempengaruhi permeabilitas dinding sel sehingga proses
pengeluaran plasma dari jaringan bisa lebih cepat. Penerapan yang terlalu
tinggi dapat mengkoagulasikan protein plasma. Protein plasma yang terkoagulasi
akan menempel pada protein miofibrilar (benang daging) (Winiati Pudji Rahayu,
dkk, 1992 dan Agus Heri Santoso, 2005).
de Man (1997)
menjelaskan bahwa rentang suhu denaturasi dan koagulasi sebagian besar protein
sekitar 55-750C, suhu koagulasi albumin telur 560C, suhu koagulasi
albumin serum sapi 670C, suhu koagulasi albumin susu sapi 720C.
Lebih lanjut Winiati Pudji Rahayu, dkk (1992) menyatakan pemanasan protein
sarkoplasma (protein plasma ikan) selama 10 menit pada suhu 900C
akan mengkoagulasikan protein tersebut. Selain itu, hasil penelitian Agus Heri
Santoso (2001) membuktikan penerapan suhu proses ekstraksi 70-800C
memberikan hasil ekstrak ikan (filtrat albumin) yang baik. Begitu pula Tri Silo
Wardanu (2005) membuktikan kadar albumin ekstrak ikan tertinggi didapat pada
suhu ekstraksi 700C selama 30 menit dan Illy Hajar Masulla (2005)
juga membuktikan suhu dan lama proses ekstraksi optimal yang mengasilkan
ekstrak ikan (filtrai albumin) terbaik adalah 700C selama 60 menit.
4. Pemakaian pelarut
Pemakaian pelarut
yang tepat dapat meningkatkan jumlah sari ikan gabus yang bisa diekstrak.
Sarkoplasma merupakan protein yang dapat larut dalam air dan larutan garam yang
berkekuatan ion rendah (konsentrasi garam 0,5%). Untuk meningkatkan jumlah
albumin yang terekstrak dapat mempergunakan air bebas ion (aquadestilated) serta pengaturan pH lingkungan ekstraksi (pelarut)
agar tidak mencapai titik Isoelektriknya juga sangat penting (Winiati Pudji
Rahayu, dkk, 1992 dan Agus Heri Santoso, 2005). Hal ini mengacu pada sifat
kimia protein yang mempunyai banyak muatan (polielektrolit) dan bersifat
amfoter (dapat bereaksi dengan asam maupun basa) sehingga dapat menyebabkan
terjadinya pengendapan. Pada pH tertentu yang disebut titik isolistrik atau
titik isoelektrik (pI) pengendapan paling cepat terjadi, setiap protein
mempunyai titik isoelektrik yang berlainan, sehingga prinsip ini digunakan
dalam proses-proses pemisahan serta pemurnian protein (F. G. Winarno, 2002).
Winiati Pudji
Rahayu, dkk menyatakan jumlah protein sarkoplasma yang tersekstrak dengan
larutan garam (NaCl) 0,1 M pada pH 6,8 apabila dipanaskan suhu 900C selama 10
menit, maka akan terkoagulasi hingga 95%. Lebih lanjut Eddy Suprayitno (2003)
menjelaskan pH Isoelektrik albumin bervariasi antara 4,6 (albumin telur) sampai
4,9 (albumin serum) dan Suwandi (1989) menyatakan pH Isoelektrik albumin ikan
adalah 4,7. Sedangkan, hasil penelitian Agus Heri Santoso (2001) membuktikan pH
Isoelektrik albumin ikan atau pH yang menghasilkan endapan dengan
kadar albumin tertinggi adalah 4,6.
0 komentar:
Posting Komentar