A. DEFINISI
osteoporosis
adalah penyakit yang ditandai dengan berkurangnya massa tulang dan adanya
perubahan mikroarsitektur jaringan tulang. Osteoporosis bukan hanya
berkurangnya kepadatan tulang tetapi juga penurunan kekuatan tulang. Pada
osteoporosis kerusakan tulang lebih cepat daripada perbaikan yang dilakukan
oleh tubuh. Osteoporosis sering disebut juga dengan keropos tulang.
Tulang-tulang yang sering mengalami fraktur/patah yaitu : tulang ruas tulang
belakang, tulang pinggul, tungkai dan pergelangan lengan bawah. (WHO)
Osteoporosis
merupakan penyakit metabolisme tulang yang ditandaipengurangan massa tulang,
kemunduran mikroarsitektur tulang dan fragilitastulang yang meningkat, sehingga
resiko fraktur menjadi lebih besar. Insidenosteoporosis meningkat sejalan
dengan meningkatnya populasi usia lanjut (Adam,2002; Kaniawati, 2003; Hammett,
2004; Sennang, 2006).
Osteoporosis
merupakan penyakit tulang yang ditandai dengan berkurangnya massa tulang,
sehingga tulang menjadi rapuh dan resiko terjadinya patah tulang meningkat.
Dalam keadaan Fisiologis/normal, tulang kita juga mengalami pengeroposan yang
diikuti dengan pembentukan sel-sel tulang baru di bagian tulang yang keropos,
sedangkan pada penyakit tulang osteoporosis, pengeroposan tulang terjadi
berlebihan dan tidak diikuti proses pembentukan yang cukup sehingga tulang jadi
lebih tipis dan rapuh. (artikel kesehatan)
Osteoporosis
adalah penyakit tulang yang mempunyai sifat-sifat khas berupa massa tulang yang
rendah, disertai mikro arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang
yang dapat akhirnya menimbulkan kerapuhan tulang. (Wikipedia)
Osteoporosis
pada tulang belakang dapat menyebabkan masalah serius bagi perempuan. Sebuah
fraktur di daerah ini terjadi dari hari-hari kegiatan seperti naik tangga,
mengangkat benda, atau membungkuk ke depan
1.
Miring bahu
2.
Kurva di bagian belakang
3.
Tinggi badan
4.
Nyeri punggung
5.
Postur membungkuk
6.
Perut buncit
Osteoporosis
dapat terjadi pada setiap tulang Anda, tetapi yang paling umum di pergelangan
tangan, pinggul, dan tulang belakang, juga disebut tulang belakang Anda.
Vertebra penting karena tulang menopang tubuh Anda untuk berdiri dan duduk
tegak
B. KLASIFIKASI
1. Osteoporosis primer
Osteoporosis primer sering menyerang wanita paska menopause
dan juga pada pria usia lanjut dengan penyebab yang belum diketahui.
Osteoporosis postmenopause merupakan osteoporosis tipe I
pada wanita usia 51-65 tahun. Secara patogenesis terjadi ketidakseimbangan
prosesremodeling tulang antara resorpsi yang meningkat dengan cepat dan
formasitulang berjalan relatif lebih lambat. (Lindsay, 2001; Djokomoeljanto
2003; Raisz,2005; Adnan, 2008)
2. Osteoporosis sekunder
osteoporosis
sekunder disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan :
a.
Cushing's disease
b.
Hyperthyroidism
c.
Hyperparathyroidism
d.
Hypogonadism
e.
Kelainan hepar
f.
Kegagalan ginjal kronis
g.
Kurang gerak
h.
Kebiasaan minum alcohol
i.
Pemakai obat-obatan/corticosteroid
j.
Kelebihan kafein
k.
Merokok
3. Osteoporosis anak
Osteoporosis
pada anak disebut juvenile idiopathic osteoporosis.
C. ETIOLOGI
1.
Osteoporosis postmenopausal
terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur
pengangkutan kalsium ke dalam
tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara
51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak
semua wanita memiliki risiko yang sama untuk menderita osteoporosis
postmenopausal, wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita
penyakit ini daripada wanita kulit hitam.
2.
Osteoporosis senilis
terjadi karena kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan di antara kecepatan hancurnya
tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis berarti bahwa keadaan ini
hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia di atas
70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis
senilis dan postmenopausal.
Kurang dari 5% penderita osteoporosis juga mengalami
osteoporosis sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh
obat-obatan.Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan
hormonal (terutama tiroid, paratiroid dan adrenal) dan obat-obatan (misalnya
kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang dan hormon tiroid yang berlebihan).
Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok bisa memperburuk keadaan ini.
3.
Osteoporosis juvenil idiopatik
merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak
diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar
dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal dan tidak memiliki
penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang.
D. FAKTOR RESIKO
Menurut
WHO, Faktor resiko yang memudahkan Osteoporosis:
1.
Asupan zat gizi yang tidak seimbang
khususnya kurang kalsium dan vitamin D
2.
Proses penuaan
3.
Faktor keturunan
Menurut
artikel kesehatan, factor resiko osteoporosis,yaitu:
a.
Wanita.
Resiko osteoporosis pada wanita lebih tinggi daripada pria karena, umumnya
massa tulangnya lebih kecil dan proses menopause pada Wanita.
b.
Usia. Resiko osteoporosis meningkat 1-2
kali setiap bertambah usia 10 tahun
c.
Kebiasaan merokok dan konsumsi minuman
beralkohol
d.
Ras Asia dan Kaukasia beresiko tinggi
untuk mengalami osteoporosis daripada ras Afrika.
e.
Genetik. Riwayat osteoporosis atau
patah tulang di usia lebih dari;50 tahun pada keluarga juga merupakan faktor
resiko osteoporosis.
f.
Penyakit kronis seperti diabetes,
penyakit hati, ginjal,dapat meningkatkan resiko osteoporosis.
g.
Asupan kalsium dan vitamin D yang
kurang adalah faktor resiko penting dalam osteoporosis
h.
Penggunaan obat-obatan seperti steroid,
obat anti kejang (Phenobarbital dan; Phenytoin), antasida yang mengandung
aluminium, metotreksat, siklosporin A merupakan faktor resiko osteoporosis
karena menyebabkan pengeluaran kalsium dari tulang dalam jumlah banyak.
E. MENIFESTASI KLINIS
Adapun
gejala-gejala dari osteoporosis (WHO),yaitu:
1.
Sakit punggung (semakin parah jika
telah terjadi patah tulang)
2.
Nyeri tulang (atau biasa orang awam
kenal dengan sensasi ngilu)
3.
Fraktur
4.
Fraktur umumnya terjadi ketika penyakit
ini sudah dalam tahap lanjut, di mana penipisan tulang yang parah dan kerusakan
sudah terjadi.
5.
Tinggi berkurang (akibat pembungkukan
tulang), Postur bungkuk (kifosis)
6.
Sakit leher (semakin parah jika terjadi
patah tulang belakang)
Gejala-gejala
osteoporosis menurut para tim medis lain,yaitu:
a.
Nyeri tulang akut.. Nyeri terutama
terasa pada tulang belakang, nyeri dapat dengan atau tanpa fraktur yang nyata
dan nyeri timbul mendadak.
b.
Nyeri berkurang pada saat beristirahat
di tempat tidur
c.
Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan
akan bertambah bila melakukan aktivitas
d.
Deformitas tulang. Dapat terjadi
fraktur traumatic pada vertebra dan menyebabkan kifosis angular yang menyebabkan
medulla spinalis tertekan sehingga dapat terjadi paraparesis.
e.
Gambaran klinis sebelum patah tulang,
klien (terutama wanita tua) biasanya datang dengan nyeri tulang belakang,
bungkuk dan sudah menopause sedangkan gambaran klinis setelah terjadi patah
tulang, klien biasanya datang dengan keluhan punggung terasa sangat nyeri
(nyeri punggung akut), sakit pada pangkal paha, atau bengkak pada pergelangan
tangan setelah jatuh.
f.
Kecenderungan penurunan tinggi badan
g.
Postur tubuh kelihatan memendek
F. PATOFISIOLIGI
Osteoforosis terjadi karena adanya interaksi yang menahun
antara factor genetic dan factor lingkungan.
1.
Factor genetic meliputi:
usia jenis kelamin, ras keluarga, bentuk tubuh, tidak pernah
melahirkan.
2.
Factor lingkungan meliputi:
merokok, Alcohol, Kopi, Defisiensi vitamin dan gizi, Gaya
hidup, Mobilitas, anoreksia nervosa dan pemakaian obat-obatan.
Kedua factor diatas akan menyebabkan melemahnya daya serap sel terhadap kalsium dari darah ke tulang, peningkatan pengeluaran kalsium bersama urin, tidak tercapainya masa tulang yang maksimal dengan resobsi tulang menjadi lebih cepat yang selanjutnya menimbulkan penyerapan tulang lebih banyak dari pada pembentukan tulang baru sehingga terjadi penurunan massa tulang total yang disebut osteoporosis.
Kedua factor diatas akan menyebabkan melemahnya daya serap sel terhadap kalsium dari darah ke tulang, peningkatan pengeluaran kalsium bersama urin, tidak tercapainya masa tulang yang maksimal dengan resobsi tulang menjadi lebih cepat yang selanjutnya menimbulkan penyerapan tulang lebih banyak dari pada pembentukan tulang baru sehingga terjadi penurunan massa tulang total yang disebut osteoporosis.
Di samping penuaan dan menopause, penipisan tulang
diakibatkan oleh pemberian steroid sehingga mengakibatkan penurunan pembentukan
tulang (bone formation) dan peningkatan resorpsi tulang (bone resorption).
Steroid menghambat sintesis kolagen tulang oleh osteoblast yang telah ada, dan
mencegah transformasi sel-sel prekursor menjadi osteoblast yang dapat berfungsi
dengan baik. Di samping itu, steroid juga sangat mereduksi sintesis protein.
Gambaran histomorfometrik menunjukkan penurunan tingkat aposisi mineral, dan
penipisan dinding tulang, yang diduga karena umur osteoblast yang semakin
pendek. Efek steroid terhadap osteoblast juga melalui gangguan atas respons
osteoblast terhadap hormon paratiroid, prostaglandin, sitokin, faktor pertumbuhan,
dan 1,25-dihydrozy vitamin D. Sintesis dan aktivitas faktor-faktor parakrin
lokal mungkin juga terganggu. Dibandingkan proses penuaan, penipisan tulang
dalam osteoporosis akibat steroid lebih luas, karena permukaan-permukaan yang
mengalami resorpsi dan hambatan formasi tulang juga lebih luas.
Berbeda dengan efek steroid atas pembentukan tulang,
penelitian mengenai gangguan resorpsi tulang masih terbatas. Diduga, pengaruh
steroid terhadap resorpsi tulang berlangsung melalui hormon paratiroid. Penelitian
pada hewan percobaan menunjukkan bahwa setelah pengangkatan kelenjar
paratiroid, respons osteoklastik terhadap steroid sepenuhnya hilang, sehingga
disimpulkan bahwa resorpsi tulang terutama dikendalikan oleh hormon paratiroid.
Namun, kebanyakan penelitian pada manusia tidak menemukan peningkatan kadar
hormon paratiroid setelah pemberian terapi steroid. Penelitian lain menemukan
peningkatan fragmen-fragmen hormon paratiroid, tetapi kadar hormon yang utuh
tidak terpengaruh.
Efek steroid terhadap absorpsi kalsium dalam usus tidak sama
di setiap segmen-segmen usus tidak sama. Absorpsi di duodenum lebih kecil,
tetapi absorpsi di kolon meningkat. Di samping penurunan absorpsi kalsium,
steroid dapat meningkatkan ekskresi kalsium dalam urine. Pada pasien dengan
pemberian steroid jangka panjang, hiperkalsiuria kemungkinan besar akibat
mobilisasi kalsium di tulang-tulang dan penurunan reabsorpsi kalsium di tubuli
renal. Steroid mungkin mengganggu metabolisme vitamin D, walaupun dugaan ini
belum didasari bukti kuat. Kadar 1,25 dihydroxyvitamin D dalam serum menurun
akibat pemberian steroid, tetapi perubahan dari 25-hydroxyvitamin D menjadi
1,25 dihydroxyvitamin D tidak mengalami perubahan.
Steroid eksogen akan menghambat sekresi gonadotropin dari
hipofisis, sehingga fungsi gonad terganggu. Akibatnya, produksi estrogen dan
testosteron menurun. Steroid menghambat sekresi LH, dan menurunkan produksi
estrogen yang difasilitasi oleh FSH. Efek steroid yang lain adalah menurunkan
sekresi hormon seks adrenal. Defisiensi estrogen dan pemakaian steroid saling
memperkuat efek terhadap laju penipisan tulang. Ketika bone thinning
terjadi, bagian trabekular lebih dulu terpengaruh dibandingkan bagian kortikal.
Dengan demikian fraktur lebih sering terjadi di tulang-tulang pipih.
Hiperkalsiuria dan bone thinning terjaadi dalam 6 bulan
sampai 12 bulan seterlah pemakaian steroid eksogen. Setelah itu, laju penipisan
tulang melambat hingga 2 sampai 3 kali dibandingkan keadaan normal. Risiko
osteoporosis akibat steroid juga meningkat ketika dosis yang diberikan lebih
tinggi. Belum jelas, apakah risiko timbul akibat pemberian dosis steroid yang
lebih tinggi (prednison > 7,5 mg/d) dalam jangka waktu pendek (< 6
bulan), atau dosis yang rendah (prednison < 7,5 mg/d) tetapi dalam
waktu lebih lama (> 6 bulan). Yang jelas, risiko osteoporosis meningkat
dengan dosis kumulatif steroid lebih tinggi. Secara umum, dosis yang rendah
lebih aman dibandingkan dosis tinggi, namun tidak jelas berapa dosis yang
benar-benar aman. Laju penipisan tulang bisa meningkat hanya dengan pemberian
5-10 mg prednison setiap hari dan juga dengan steroid melalui inhalasi.
Pemberian steroid dalam dosis berapapun perlu disertai dengan penilaian risiko
osteoporosis dan pemantauan secara terus-menerus untuk mencegah fraktur.
Secara skematis, patofisiologi osteoporosis akibat pemberian
steroid dapat digambarkan sebagai 2 proses utama. Proses yang pertama adalah
penurunan pembentukan tulang dan kenaikan resorpsi tulang. Terapi steroid
secara kronik menurunkan umur osteoblast dan meningkatkan apoptosis. Pemberian
steroid juga meningkatkan maturasi dan kegiatan osteoclast dan mengakibatkan
antiapoptotik secara langsung. Dengan menurunkan absorpsi kalsium dari usus dan
meningkatkan ekskresi kalsium urine, steroid mengakibatkan resoprsi tulang dan
hiperparatiroidisme sekunder. Steroid menghambat produksi hormon steroid
seksual dan sekresi dari adrenal, ovarium dan testis yang juga mengakibatkan
resorpsi tulang.
G. KOMPLIKASI
Osteoporosis mengakibatkan tulang secara progresif menjadi
panas, rapuh dan mudah patah. Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur. Bisa
terjadi fraktur kompresi vertebra torakalis dan lumbalis, fraktur daerah kolum
femoris dan daerah trokhanter, dan fraktur colles pada pergelangan tangan.
H. PENATALAKSAAN
1.
Diet kaya kalsium dan vitamin D yang
mencukupi sepanjang hidup, dengan peningkatan asupan kalsium pada permulaan
umur pertengahan dapat melindungi terhadap demineralisasi tulang
2.
Pada menopause dapat diberikan terapi
pengganti hormone dengan estrogen dan progesterone untuk memperlambat
kehilangan tulang dan mencegah terjadinya patah tulang yang diakibatkan.
3.
Medical treatment, oabt-obatan dapat
diresepkan untuk menangani osteoporosis termasuk kalsitonin, natrium fluoride,
dan natrium etridonat
4.
Pemasangan penyangga tulang belakang
(spinal brace) untuk mengurangi nyeri punggung
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
(misalnya : kalsium serum, fosfat serum, fosfatase alkali, eksresi kalsium
urine,eksresi hidroksi prolin urine, LED).
Pemeriksaan
ini untuk menilai kecepatan bone turnover.
Penilaian bone turnover rate dilakukan dengan
membandingkan aktivitas formasi tulang dengan aktivitas resorpsi tulang.
Apabila aktivitas pembentukan/formasi tulang lebih kecil dibandingkan dengan
aktivitas resorpsi tulang maka pasien ini memiliki risiko tinggi terhadap
osteoporosis. Evaluasi biokimia ini dilakukan melalui pemeriksaan darah
dan urine pagi hari.
a. Petanda
untuk menilai aktivitas pembentukan tulang (bone formation)
o
Osteocalcin yaitu protein yang
dihasilkan oleh osteoblas dyang berfungsi membantu proses mineralisasi tulang.
o
Alkali fosfatase tulang yaitu enzim
yang dihasilkan osteoblas yang berfungsi sebagai katalisator proses
mineralisasi tulang.
b. Petanda
untuk menilai aktivitas resorpsi tulang (bone resorption)
o
Deoxypyridinolin/ β-Crosslink yaitu
protein penguat mekanik tulang yang dilepaskan ke dalam peredaran darah dan
dikeluarkan melalui urin jika terjadi proses resorpsi/ penyerapan tulang.
o
CTx (C-Telopeptide) yaitu hasil
pemecahan protein kolagen tipe 1 yang spesifik untuk tulang. Selain itu,
pemeriksaan kadar CTx dan deoxypyridinolin dapat digunakan untuk
menilai/pemantauan keberhasilan terapi (sebelum pemeriksaan densitas mineral
tulang berikutnya).
2. Radiologi
Pemeriksaan radiologi vertebra torakalis dan lumbalis AP dan
lateral dilakukan untuk mencari adanya fraktur. Nilai diagnostik pemeriksaan
radiologi biasa untuk mendeteksi osteoporosis secara dini kurang memuaskan karena
pemeriksaan ini baru dapat mendeteksi osteoporosis setelah terjadi penurunan
densitas massa tulang lebih dari 30%.
3. Pemeriksaan
bone densitometri (DEXA)
Pemeriksaan densitometri tulang dilakukan menggunakan alat
DEXA. Biasanya digunakan untuk mengukur densitas massa tulang pada daerah
lumbal, femur proksimal, lengan bawah distal dan seluruh tubuh. Secara
rutin, untuk diagnosis osteoporosis cukup diperiksa densitometri pada vertebra
lumbal dan pangkal paha (femur proksimal). Bila terdapat keterbatasan biaya,
dapat dipertimbangkan pemeriksaan hanya pada 1 daerah, yaitu pada daerah lumbal
untuk wanita yang berumur kurang dari 60 tahun, atau daerah pangkal paha (femur
proksimal) pada wanita yang berumur lebih dari 60 tahun dan pada pria.
Alat pemeriksaan Densitometri
mendiagnosis osteoporosis, digunakan T-score. T score yang
kurang dari 1 SD dibawah nilai rata-rata BMD normal memiliki risiko fraktur dua
kali lipat. Untuk osteoporosis sekunder, nilai Z-score < [-] 2 sangat
penting dalam penegakkan diagnosis.
Lihat Juga Asuhan Keperawatan Osteoporosis
Lihat Juga Asuhan Keperawatan Osteoporosis
0 komentar:
Posting Komentar