Senin, 07 Mei 2012

Marah/ Amuk (Mengamuk)


A.    Pengertian
Patricia D. Barry (1998:140), menyatakan bahwa marah adalah suatu keadaan yang merupakan campuran perasaan frustasi dan benci atau marah. Hal ini didasari karena emosi secara mendalam dari setiap orang sebagai bagian penting dari keaadaan emosional kita yang di proyeksikan ke lingkungan, kedalam diri atau secara destruktif.
Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan / kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman (Stuart & Sundeen, 1995).
Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat membahayakan orang, diri sendiri baik secar fisik, emosional, dan atau seksualitas (Nanda, 2005).
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 1993 dalam Depkes, 2000).
Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman (Keliat, 1996).
Agresi berkaitan dengan trauma pada masa anak pada saat merasa lapar, kedinginan, basah, atau merasa tidak nyaman. Bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhui secara terus menerus, maka ia akan menampakkan reaksi berupa menangis, kejang, atau kontraksi otot, perubahan ekspresi warna kulit, bahkan mencoba menhan napasnya.
Setelah anak berkembang dewasa ia menampkan reaksi yang lebih keras pada saat kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi. Seperti tempertantrum, melempar, menjerit, menahan napas, mencakar, merusak atau bersikap agresif pada bonekanya. Bila Reward and punishment tidak dilakukan maka ia cenderung menganggap perbuatan tersebut benar.
Bila kontrol lingkungan seputar anak tidak berfungsi, maka reaksi agresi tersebut bertambah kuat sampai dewasa. Sehingga apabila ia merasa benci atau frustasi dalam mencapai tujuan ia akan bertindak agresif. Hal ini bertambah apabila ia merasa kehilangan orang-orang yang dicintai yang berarti. Tetapi pelan-pelan ia akan belajar  mengontrol dirinya dengan norma dan etika dari dalam dirinya yang dia adopsi dari pendidikan dan lingkungan sekitarnya. Ia belajar mana yang baik dan mana yang tidak baik. Sehingga pola asuh dan orang-orang terdekat sekitar lingkungan akan sangat berarti. Perilaku kekerasan  itu sendiri sering dipandang sebagai suatui rentang, dimana agresif verbal di suatu sisi dan perilaku kekerasan (violence) di sisi lain.

B.     Rentang Respon Marah
Tindakan kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan fisik, baik kepada diri sendiri maupun ornag lain. Sering disebut juga gaduh gelisah atau amuk dimana seseorang marah berespon terhadap suatu stressor dengan gerkan motorik yang tidak dikontrol.
1.      Asertif      
Mampu menyatakan rasa marah tanpa menyakiti orang lain dan merasa lega.
2.      Frustasi   
Merasa gagal mencapai tujuan disebabkan karena tujuan yang tidak realistis.
3.      Pasif
Diam saja karena merasa tidak mampu mengungkapkan perasaan yang sedang dialami.
4.      Agresif
Tindakan destruktif terhadap lingkungan yang masih terkontrol.
5.      Amuk
Tindakan destruktif dan bermusuhan yang kuat dan tidak terkontrol.
C.    Faktor Presdiposisi
1.      Faktor Psikologis
Psycoanalytical Theory; Teori ini mendukung bahwa perilaku agresif merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia di pengaruhi oleh dua insting. Pertama insting hidup yang dapat di ekspresikan dengan seksualitas; dan kedua, insting kematian yang diekspresikan dengan agresivitas.
Frustation agression theory ; teori yang dikembangkan oleh pengikut Freud ini berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai perilkau agresif, mendukung pentingnya peran dari perkembangan presdiposisi atau pengalaman hidup. Ini menggunakan pendekatan bahwa manusia mampu memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak merusak. Beberapa contoh dari pengalaman tersebut :
a.      Kerusakan otak organik, retardasi mental, sehingga tidak mampu menyelesaikan secara efektif.
b.      Severe Emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa kanak-kanak, atau seduction parental, yang mengkin telah merusak hubungan saling percaya (trust) dan harga diri.
c.       Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child abuse atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga membentuk pola pertahanan atau koping.
2.      Faktor Sosial Budaya
Social Learning  Theory; teori yang dikembangkan oleh Bandura (1977) ini mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat di pelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan makan semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan merespon terhadap keterbangkitaan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang di pelajarinya. Pembelajaran ini bisa internal atau ekternal. Contoh internal; orang yang mengalami keterbangkitan seksual karena menonton film erotis menjadi lebih agresif  dibandingkan mereka yang tidak menonton film tersebut; seseorang anak yang marah karena tidak boleh beli es kemudian ibunya memberinya es agar si anak mendapatkan apa yang dia inginkan. Contoh eksternal; seorang anak menunjukan perilaku agresif setelah melihat seseorang dewasa mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap sebuah boneka.
Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima atau tidak dapat diterima. Sehingga dapat membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara asertif.
3.      Faktor biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresif mempunyai dasar biologis. Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (yang berada di tengah sistem limbik binatang ternyata menimbulkan perilaku agresif). Perangsangan yang diberikan terutama pada nukleus periforniks hipotalamus dapat menyebabkan seekor kucing mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekornya, mendesis, bulunya berdiri, menggeram, matanya terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan hendak menerkan tikus atau objek yang ada di sekitarnya. Jadi kerusakakan sistem limbic (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (pemikiran rasional), dan lobus temporal (untuk interpretasi indera penciuman dan memori).
Neurotransmitter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif adalah serotonin, dopamin, norepinephrine, acetilkolin, dan asam amino GABA.
Faktor-faktor yang mendukung :
a.      Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan.
b.      Sering mengalami kegagalan.
c.       Kehidupan yang penuh tindakan agresif.
d.     Lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat).
4.      Faktor Presipitasi
Secara umum, seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya teramcam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika seseorang merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh karena itu, baik perawat maupun klien harus bersama-sama mengidentifikasikannya. Ancaman dapat berupa internal ataupun eksternal. Contoh stressor eksternal yaitu serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang di anggap bermakna dan adanya kritikan dari orang lain. Sedangkan stressor dari internal yaitu merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang dicintainya, dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita.
Bila dilihat dari sudut perawat-klien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan terbagi dua, yaitu :
a.      Klien                     :
Kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri.
b.      Lingkungan          :
Ribut, kehilangan orang / objek yang berharga, konflik interaksi sosial.

D.    Etiologi
Menurut Stearen kemarahan adalah kombinasi dari segala sesuatu yang tidak enak, cemas, tegang, dendam, sakit hati, dan frustasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kemarahan yaitu frustasi, hilangnya harga diri, kebutuhan akan status dan prestise yang tidak terpenuhi.
Frustasi, sesorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan / keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika ia tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan cara lain tanpa mengendalikan orang lain dan keadaan sekitarnya misalnya dengan kekerasan.
Hilangnya harga diri, pada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akibatnya individu tersebut mungkin akan merasa rendah diri, tidak berani bertindak, lekas tersinggung, lekas marah, dan sebagainya.
Kebutuhan akan status dan prestise, manusia pada umumnya mempunyai keinginan untuk mengaktualisasikan dirinya, ingin dihargai dan diakui statusnya.
E.     Tanda dan Gejala     
Kemarahan dinyatakan dalam berbagai bentuk, ada yang menimbulkan pengrusakan, tetapi ada juga yang hanya diam seribu bahasa. Gejala-gejala atau perubahan-perubahan yang timbul pada klien dalam keadaan marah diantaranya adalah :
1.      Perubahan fisiologi
Tekanan darah meningkat, denyut nadi dan pernapasan meningkat, pupil dilatasi, tonus otot meningkat, mual, frekuensi buang air besar meningkat, kadang-kadang konstipasi, refleks tendon tinggi.
2.      Perubahan Emosional
Mudah tersinggung , tidak sabar, frustasi, ekspresi wajah nampak tegang, bila mengamuk kehilangan kontrol diri.
3.      Perubahan Perilaku
Agresif pasif, menarik diri, bermusuhan, sinis, curiga, mengamuk, nada suara keras dan kasar.
4.      Menyerang atau menghindar (Fight of Flight)
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom beraksi terhadap sekresi epinephrin yang menyebabkan tekanan darah meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, sekresi HCl meningkat, peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat diserta ketegangan otot, seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.
5.      Menyatakan Secara Asertif (Assertiveness)
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku asertif adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan marah karena individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikolgis. Di samping itu perilaku ini dapat juga untuk pengembangan diri klien.
6.      Memberontak (Acting Out)
Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku “acting out” untuk menarik perhatian orang lain.
7.      Perilaku Kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan
F.     Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri (Stuart dan Sundeen, 1998 hal 33).
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara lain (Maramis, 1998, hal 83) :
1.      Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
2.      Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
3.      Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
4.      Reaksi Formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
5.      Displacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan temannya.
G.    Psikopatologi
Depkes (2000) mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan yang mengarah pada perilaku kekerasan. Respon terhadap marah dapat diekspresikan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal dapat berupa perilaku kekerasan sedangkan secara internal dapat berupa perilaku depresi dan penyakit fisik.
Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang lain, akan memberikan perasaan lega, menurunkan ketegangan, sehingga
perasaan marah dapat diatasi (Depkes, 2000). Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan, biasanya dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara demikian tentunya tidak akan menyelesaikan masalah bahkan dapat menimbulkan kemarahan yang berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku destruktif, seperti tindakan kekerasan yang ditujukan kepada orang lain maupun lingkungan.
Perilaku yang tidak asertif seperti perasaan marah dilakukan individu karena merasa tidak kuat. Individu akan pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari rasa marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan pada suatu saat dapat menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan kepada diri sendiri (Depkes, 2000).

Lihat Juga Asuhan Keperawatan Jiwa Marah/Amuk Mengamuk

0 komentar:

Posting Komentar