Diabetes Melitus adalah gangguan
metabolisme yang secara genetic dan klinis termasuk heterogen dengan
manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Price dan Wilson, 1995).
Diabetes melitus adalah keadaan
hiperglikemia kronik disertai berbagai keluhan metabolic akibat gangguan
hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada berbagai organ dan
system tubuh seperti mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, dan lain-lain
(Mansjoer, 1999).
Diabetes melitus adalah sekelompok
kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau
hiperglikemia (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes mellitus adalah sindrom yang
disebabkan oleh ketidaseimbangan antara tuntutan dan suplai insulin (H.
Rumahorbo, 1999).
Diabetes mellitus adalah kumpulan
gejala yang timbul pada seseorang akibat peningkatan kadar glukosa darah yang disebabkan oleh
kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 2002).
B.
KLASIFIKASI
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan bentuk diabetes mellitus berdasarkan
perawatan dan simtoma:
1. Diabetes tipe 1, yang meliputi simtoma ketoasidosis hingga rusaknya sel beta di
dalam pankreas yang disebabkan atau menyebabkan autoimunitas, dan bersifat idiopatik. Diabetes mellitus dengan patogenesis jelas, seperti fibrosis sistik atau defisiensi mitokondria, tidak termasuk pada penggolongan ini.
2. Diabetes tipe 2, yang diakibatkan oleh defisiensi sekresi insulin,
seringkali disertai dengan sindrom resistansi insulin
3. Diabetes gestasional, yang meliputi gestational impaired glucose
tolerance, GIGT dan gestational diabetes mellitus, GDM.
dan menurut tahap klinis tanpa pertimbangan patogenesis, dibuat
menjadi:
1. Insulin requiring for survival diabetes, seperti pada kasus
defisiensi peptida-C.
2. Insulin requiring for control diabetes. Pada tahap ini, sekresi insulin endogenus tidak cukup untuk
mencapai gejala normoglicemia, jika tidak disertai dengan tambahan hormon dari luar tubuh.
3. Not insulin requiring diabetes.
Kelas empat pada tahap
klinis serupa dengan klasifikasi IDDM (bahasa Inggris: insulin-dependent diabetes mellitus), sedang tahap kelima
dan keenam merupakan anggota klasifikasi NIDDM (bahasa Inggris: non insulin-dependent diabetes mellitus). IDDM dan NIDDM
merupakan klasifikasi yang tercantum pada International Nomenclature of
Diseases pada tahun 1991 dan revisi ke-10 International Classification of
Diseases pada tahun 1992.
Klasifikasi Malnutrion-related
diabetes mellitus, MRDM, tidak lagi digunakan oleh karena, walaupun malnutrisi dapat memengaruhi ekspresi beberapa tipe diabetes, hingga
saat ini belum ditemukan bukti bahwa malnutrisi atau defisiensi protein dapat
menyebabkan diabetes. Subtipe MRDM; Protein-deficient pancreatic diabetes
mellitus, PDPDM, PDPD, PDDM, masih dianggap sebagai bentuk malnutrisi yang
diinduksi oleh diabetes mellitus dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
Sedangkan subtipe lain, Fibrocalculous pancreatic diabetes, FCPD,
diklasifikasikan sebagai penyakit pankreas eksokrin pada
lintasan fibrocalculous pancreatopathy yang menginduksi diabetes mellitus.
Klasifikasi Impaired
Glucose Tolerance, IGT, kini didefinisikan sebagai tahap dari cacat regulasi
glukosa, sebagaimana dapat diamati pada seluruh tipe kelainan hiperglisemis.
Namun tidak lagi dianggap sebagai diabetes.
Klasifikasi Impaired Fasting
Glycaemia, IFG, diperkenalkan sebagai simtoma
rasio gula darah
puasa yang lebih tinggi dari batas atas rentang normalnya, tetapi masih di
bawah rasio yang ditetapkan sebagai dasar diagnosa diabetes.
C.
ETIOLOGI
1.
Diabetes tipe I:
a.
Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu
sendiri; tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah
terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang
memiliki tipe antigen HLA
b. Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal
dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi
terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing.
Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
c. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun
yang menimbulkan destruksi selbeta.
2.
Diabetes Tipe II
Mekanisme yang
tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada
diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam
proses terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :
1. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di
atas 65 th)
2. Obesitas
3. Riwayat keluarga
D.
PATOFISIOLOGI DIABETES MELLITUS
Kemungkinan induksi
diabetes tipe 2 dari berbagai macam kelainan hormonal, seperti hormon sekresi kelenjar adrenal, hipofisis dan tiroid merupakan
studi pengamatan yang sedang baik di saat
ini. Sebagai contoh, timbulnya IGT dan diabetes mellitus sering disebut terkait
oleh akromegali dan hiperkortisolisme atau sindrom Cushing. Hipersekresi hormon GH pada akromegali dan sindrom Cushing sering berakibat pada
resistansi insulin, baik pada hati dan organ lain, dengan simtoma hiperinsulinemia dan hiperglisemia, yang berdampak pada penyakit
kardiovaskular dan berakibat kematian.
GH memang memiliki peran penting dalam metabolisme glukosa dengan menstimulasi glukogenesis dan lipolisis, dan
meningkatkan kadar glukosa darah dan asam lemak. Sebaliknya, insulin-like growth factor 1 (IGF-I)
meningkatkan kepekaan terhadap insulin, terutama pada otot lurik. Walaupun demikian, pada akromegali, peningkatan rasio
IGF-I tidak dapat menurunkan resistansi insulin, oleh karena berlebihnya GH.
Terapi dengan somatostatin
dapat meredam kelebihan GH pada sebagian banyak orang, tetapi karena juga
menghambat sekresi insulin dari pankreas, terapi ini akan memicu komplikasi pada toleransi glukosa.
Sedangkan hipersekresi hormon kortisol pada hiperkortisolisme yang menjadi penyebab obesitas
viseral, resistansi insulin, dan dislipidemia, mengarah pada hiperglisemia dan
turunnya toleransi glukosa, terjadinya resistansi insulin, stimulasi glukoneogenesis
dan glikogenolisis.
Saat bersinergis dengan kofaktor hipertensi,
hiperkoagulasi, dapat
meningkatkan risiko kardiovaskular. Hipersekresi hormon juga terjadi pada kelenjar tiroid
berupa tri-iodotironina dengan hipertiroidisme
yang menyebabkan abnormalnya toleransi glukosa.
Pada penderita tumor neuroendokrin,
terjadi perubahan toleransi glukosa yang disebabkan oleh hiposekresi insulin,
seperti yang terjadi pada pasien bedah
pankreas, feokromositoma, glukagonoma dan somatostatinoma.
Hipersekresi hormon
ditengarai juga menginduksi diabetes tipe lain, yaitu tipe 1. Sinergi hormon
berbentuk sitokina,
interferon-gamma
dan TNF-α, dijumpai membawa sinyal apoptosis
bagi sel beta, baik in vitro maupun in vivo.[31]
Apoptosis sel beta juga terjadi akibat mekanisme Fas-FasL,
dan/atau hipersekresi molekul sitotoksik, seperti granzim dan perforin; selain hiperaktivitas sel T CD8- dan CD4
1.
DM Tipe I
Pada Diabetes tipe
I terdapat ketidak mampuan pankreas menghasilkan insulin karena hancurnya
sel-sel beta pulau langerhans. Dalam hal ini menimbulkan hiperglikemia puasa
dan hiperglikemia post prandial.
Dengan tingginya
konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan muncul glukosuria (glukosa dalam
darah) dan ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang
berlebihan (diuresis osmotic) sehingga pasien akan mengalami peningkatan dalam
berkemih (poliurra) dan rasa haus (polidipsia).
Defesiensi insulin
juga mengganggu metabolisme protein dan lemak sehingga terjadi penurunan berat
badan akan muncul gejala peningkatan selera makan (polifagia). Akibat yang lain
yaitu terjadinya proses glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan
glukogeonesis tanpa hambatan sehingga efeknya berupa pemecahan lemak dan
terjadi peningkatan keton yangdapat mengganggu keseimbangan asam basa dan
mangarah terjadinya ketoasidosis (Corwin, 2000)
2.
DM Tipe II
Terdapat dua
masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin. Normalnya insulin akan berkaitan pada reseptor kurang dan meskipun
kadar insulin tinggi dalam darah tetap saja glukosa tidak dapat masuk kedalam
sel sehingga sel akan kekurangan glukosa.
Mekanisme inilah
yang dikatakan sebagai resistensi insulin. Untuk mengatasi resistensi insulin
dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah yang berlebihan maka harus
terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbanginya maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadilah DM tipe II
(Corwin, 2000)
E.
MANIFESTASI KLINIK
1.
Poliuria
Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui
membrane dalam sel menyebabkan hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat
atau hiperosmolariti menyebabkan cairan intrasel berdifusi kedalam sirkulasi
atau cairan intravaskuler, aliran darah ke ginjal meningkat sebagai akibat dari
hiperosmolariti dan akibatnya akan terjadi diuresis osmotic (poliuria).
2.
Polidipsia
Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam
vaskuler menyebabkan penurunan volume intrasel sehingga efeknya adalah
dehidrasi sel. Akibat dari dehidrasi sel mulut menjadi kering dan sensor haus
teraktivasi menyebabkan seseorang haus terus dan ingin selalu minum
(polidipsia).
3.
Poliphagia
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari
menurunnya kadar insulin maka produksi energi menurun, penurunan energi akan
menstimulasi rasa lapar. Maka reaksi yang terjadi adalah seseorang akan lebih
banyak makan (poliphagia).
4.
Penurunan berat badan
Karena glukosa tidak dapat di transport kedalam sel maka
sel kekurangan cairan dan tidak mampu mengadakan metabolisme, akibat dari itu maka
sel akan menciut, sehingga seluruh jaringan terutama otot mengalami atrofidan
penurunan secara otomatis.
5.
Malaise atau kelemahan (Brunner & Suddart, 2002)
F.
KOMPLIKASI
Diabetes Mellitus bila tidak ditangani
dengan baik akan menyebabkan komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata,
ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, saraf, dan lain-lain (corwin, 2000)
Komplikasi jangka lama
termasuk penyakit
kardiovaskular (risiko ganda), kegagalan kronis
ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang
dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat
menyebabkan impotensi
dan gangren dengan risiko amputasi.
Komplikasi yang lebih serius lebih umum bila kontrol kadar gula darah buruk.
Diabetes Mellitus (DM) dengan
karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dapat mengakibatkan berbagai macam komplikasi berupa komplikasi akut (yang
terjadi secara mendadak) dan komplikasi kronis (yang terjadi secara menahun).
Komplikasi akut dapat berupa :
1. Hipoglikemia
yaitu menurunnya kadar gula darah < 60 mg/dalam
2. Keto
Asidosis Diabetika (KAD) yaitu DM dengan asidosis metabolic dan
hiperketogenesis
3. Koma
Lakto Asidosis yaitu penurunan kesadaran hipoksia yang ditimbulkan oleh
hiperlaktatemia.
4. Koma
Hiperosmolar Non Ketotik, gejala sama dengan no 2 dan 3 hanya saja tidak ada
hiperketogenesis dan hiperlaktatemia.
Komplikasi kronis :
Biasanya terjadi pada penderita DM yang tidak terkontrol dalam jangka waktu
kurang lebih 5 tahun. Dapat dibagi berdasarkan pembuluh darah serta persarafan
yang kena atau berdasakan organ. Pembagian secara sederhana sebagai berikut :
1. Makroangiopati,
mengenai pembuluh darah besar (pembuluh darah yang dapat dilihat secara
mikroskopis) antara lain pembuluh darah jantung / Penyakit Jantung Koroner,
pembuluh darah otak /stroke, dan pembuluh darah tepi / Peripheral Artery
Disease.
2. Mikroangiopati,
mengenai pembuluh darah mikroskopis antara lain retinopati diabetika (mengenai
retina mata) dan nefropati diabetika (mengenai ginjal).
3. Neuropati,
mengenai saraf tepi. Penderita bisa mengeluh rasa pada kaki/tangan berkurang
atau tebal pada kaki atau kaki terasa terbakar/bergetar sendiri.
Selain di atas, komplikasi kronis DM dapat dibagi berdasarkan organ yang
terkena yaitu
1. Kulit
: Furunkel, karbunkel, gatal, shinspot (dermopati diabetik: bercak hitam di
kulit daerah tulang kering), necrobiosis lipoidica diabeticorum (luka oval,
kronik, tepi keputihan), selulitis ganggren,
2. Kepala/otak
: stroke, dengan segala deficit neurologinya
3. Mata
:Lensa cembung sewaktu hiperglikemia (myopia-reversibel,katarax irreversible),
Glaukoma, perdarahan corpus vitreus, Retinopati DM (non proliperative,
makulopati, proliferatif), N 2,3,6 (neuritis optika) & nerve centralis lain
4. Hidung
: penciuman menurun
5. Mulut
:mulut kering, ludah kental = verostamia diabetic, Lidah (tebal, rugae,
gangguan rasa), ginggiva (edematus, merah tua, gingivitis, atropi),
periodontium (makroangiopati periodontitis), gigi (caries dentis)
6. Jantung
: Penyakit Jantung Koroner, Silent infarction 40% kr neuropati otonomik,
kardiomiopati diabetika (Penyakit Jantung Diabetika)
7. Paru
: mudah terjangkit Tuberculosis (TB) paru dengan berbagai komplikasinya.
8. Saluran
Cerna : gastrointestinal (neuropati esofagus, gastroparese diabetikum
(gastroparese diabeticum), gastroatropi, diare diabetic)
9. Ginjal
dan saluran kencing : neuropati diabetik, sindroma kiemmelstiel Wilson,
pielonefritis, necrotizing pappilitis, Diabetic Neurogenic Vesical Disfunction,
infeksi saluran kencing, disfungsi ereksi/ impotensi, vulvitis.
10. Saraf
: Perifer: parestesia, anestesia, gloves neuropati, stocking, neuropati, kramp
11. Sendi
: poliarthritis
12. Kaki
diabetika (diabetic foot), merupakan kombinasi makroangiopati, mikroangopati,
neuropati dan infeksi pada kaki.
G.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Glukosa darah sewaktu
2. Kadar glukosa darah puasa
3. Tes toleransi glukosa
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada
sedikitnya 2 kali pemeriksaan :
1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian
sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200
mg/dl.
H.
TES DIAGNOSTIK
1. Adanya
glukosa dalam urine. Dapat diperiksa dengan cara benedict (reduksi) yang tidak
khasuntuk glukosa, karena dapat positif pada diabetes.
2. Diagnostik lebih pasti adalah dengan memeriksa kadar
glukosa dalam darah dengan cara Hegedroton Jensen (reduksi).
3.
Gula darah puasa tinggi < 140 mg/dl.
4.
Test toleransi glukosa (TTG) 2 jam pertama < 200 mg/dl.
5.
Osmolitas serum 300 m osm/kg.
6. Urine = glukosa positif, keton positif, aseton
positif atau negative (Bare & suzanne, 2002)
I.
PENATALAKSANAAN MEDIK
Tujuan utama
terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar
glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati.
Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah
normal.
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :
1. Diet
2. Latihan
3. Pemantauan
4. Terapi (jika diperlukan)
5. Pendidikan
Diabetes Mellitus
jika tidak dikelola dengan baik akamn menimbulkan berbagai penyakit dan
diperlukan kerjasama semua pihak ditingkat pelayanan kesehatan. Untuk mencapai
tujuan tersebut dilakukan berbagai usaha dan akan diuraikan sebagai berikut :
1.
Perencanaan Makanan.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi
yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak yang sesuai dengan
kecukupan gizi baik yaitu :
a. Karbohidrat sebanyak
60 – 70 %
b. Protein sebanyak
10 – 15 %
c. Lemak sebanyak
20 – 25 %
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status
gizi, umur, stress akut dan kegiatan jasmani. Untuk kepentingan klinik praktis,
penentuan jumlah kalori dipakai rumus Broca yaitu Barat Badan Ideal =
(TB-100)-10%, sehingga didapatkan =
a. Berat badan kurang = < 90% dari BB Ideal
b. Berat badan normal = 90-110% dari BB Ideal
c. Berat badan lebih = 110-120% dari BB Ideal
d. Gemuk = > 120% dari BB Ideal.
Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari BB Ideal
dikali kelebihan kalori basal yaitu untuk laki-laki 30 kkal/kg BB, dan wanita
25 kkal/kg BB, kemudian ditambah untuk kebutuhan kalori aktivitas (10-30% untuk
pekerja berat). Koreksi status gizi (gemuk dikurangi, kurus ditambah) dan
kalori untuk menghadapi stress akut sesuai dengan kebutuhan.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi
tersebut diatas dibagi dalam beberapa porsi yaitu :
a. Makanan pagi sebanyak 20%
b. Makanan siang sebanyak 30%
c. Makanan sore sebanyak 25%
d. 2-3 porsi makanan ringan sebanyak 10-15 % diantaranya.
2.
Latihan Jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu) selama kurang lebih 30 menit yang disesuaikan dengan kemampuan dan
kondisi penyakit penyerta.
Sebagai contoh olah raga ringan adalah berjalan kaki
biasa selama 30 menit, olehraga sedang berjalan cepat selama 20 menit dan olah
raga berat jogging.
3.
Obat Hipoglikemik
a. Sulfonilurea
Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara :
Menstimulasi
penglepasan insulin yang tersimpan.
Menurunkan ambang
sekresi insulin.
Meningkatkan
sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.
Obat golongan ini
biasanya diberikan pada pasien dengan BB normal dan masih bisa dipakai pada
pasien yang beratnya sedikit lebih.
Klorpropamid
kurang dianjurkan pada keadaan insufisiensi renal dan orangtua karena resiko
hipoglikema yang berkepanjangan, demikian juga gibenklamid. Glukuidon juga
dipakai untuk pasien dengan gangguan fungsi hati atau ginjal.
b. Biguanid
Preparat yang ada dan aman dipakai yaitu metformin.
Sebagai obat tunggal dianjurkan pada pasien gemuk (imt
30) untuk pasien yang berat lebih (imt 27-30) dapat juga dikombinasikan dengan
golongan sulfonylurea
c. Insulin
Indikasi pengobatan dengan insulin adalah :
o
Semua penderita DM dari setiap umur (baik IDDM maupun NIDDM) dalam keadaan
ketoasidosis atau pernah masuk kedalam ketoasidosis.
o
DM dengan kehamilan/ DM gestasional yang tidak terkendali dengan diet
(perencanaan makanan).
o
DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dosif
maksimal. Dosis insulin oral atau suntikan dimulai dengan dosis rendah dan
dinaikkan perlahan – lahan sesuai dengan hasil glukosa darah pasien. Bila
sulfonylurea atau metformin telah diterima sampai dosis maksimal tetapi tidak
tercapai sasaran glukosa darah maka dianjurkan penggunaan kombinasi
sulfonylurea dan insulin.
o
Penyuluhan untuk merancanakan pengelolaan sangat penting untuk mendapatkan
hasil yang maksimal. Edukator bagi pasien diabetes yaitu pendidikan dan
pelatihan mengenai pengetahuan dan keterampilan yang bertujuan menunjang
perubahan perilaku untuk meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya, yang
diperlukan untuk mencapai keadaan sehat yang optimal. Penyesuaian keadaan
psikologik kualifas hidup yang lebih baik. Edukasi merupakan bagian integral dari asuhan keperawatan
diabetes (Bare & Suzanne, 2002)
Lihat Juga Asuhan Keperawatan Diabetes Melitus
0 komentar:
Posting Komentar