A.
DEFINISI
Alzheimer
merupakan penyakit kronik, progresif, dan merupakan gangguan degeneratif otak
dan diketahui mempengaruhi memori, kognitif dan kemampuan untuk merawat diri.(
Suddart, & Brunner, 2002 ).
Alzheimer
merupakan penyakit degeneratif yang ditandai dengan penurunan daya ingat,
intelektual, dan kepribadian. Tidak dapat disembuhkan, pengobatan ditujukan
untuk menghentikan progresivitas penyakit dan meningkatkan kemandirian
penderita.(Dr. Sofi Kumala Dewi, dkk, 2008)
Penyakit
Alzheimer adalah penyakit yang merusak dan menimbulkan kelumpuhan, yang
terutama menyerang orang berusia 65 tahun.
Alzheimer
merupakan penyakit dengan gangguan degeneratif yang mengenai sel-sel otak dan
menyebabkan gangguan fungsi intelektual, penyakit ini timbul pada pria dan
wanita dan menurut dokumuen terjadi pada orang tertentu pada usia 40 tahun.
Penyakit
Alzheimer adalah suatu penyakit degeneratif otak yang progresif, dimana sel-sel
otak rusak dan mati sehingga mengakibatkan gangguan mental berupa kepikunan
(demensia) yaitu terganggunya fungsi-fungsi memori (daya ingat), berbahasa,
berpikir dan berperilaku.
B.
ETIOLOGI
Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternative
penyebab yang telah dihipotesa adalah intoksikasi
logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi flament, predisposisi heriditer. Dasar
kelainan patologi penyakit Alzheimer terdiri dari degerasi neuronal, kematian
daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kongnitif dengan penurunan daya ingat secara
progresif. Adanya defisiensi
faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif
neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh
adanya peningkatan calcium intraseluler, kegagalan metabolism energy, adanya
formasi radikal bebas atau terdapat produksi protein abnormal yang non spesifik.
Penyebab degenerasi neuron kolinergik pada penyakit
Alzheimer tidak diketahui. Sampai sekarang belum satupun penyebab penyakit ini
diketahui, tetapi ada tiga faktor utama mengenai penyebabnya, yaitu:
1. Virus
lambat
Merupakan teori yang paling populer (meskipun belum
terbukti) adalah yang berkaitan dengan virus lambat. Virus-virus ini mempunyai
masa inkubasi 2-30 tahun sehingga transmisinya sulit dibuktikan. Beberapa jenis
tertentu dari ensefalopati viral
ditandai oleh perubahan patologis yang menyerupai plak senilis pada penyakit
alzheimer.
2. Proses
autoimun
Teori autoimun berdasarkan pada adanya peningkatan kadar
antibodi-antibodi reaktif terhadap otak
pada penderita penyakit alzheimer. Ada dua tipe amigaloid (suatu
kempleks protein dengan ciri seperti pati yang diproduksi dan dideposit pada
keadaan-keadaan patologis tertentu), yang satu kompos isinya terdiri atas
rantai-rantai IgG dan lainnya tidak diketahui. Teori ini menyatakab bahwa
kompleks antigen-antibodi dikatabolisir oleh fagosit dan fragmen-fragmen
imunoglobulin dihancurkan didalam lisosom, sehingga terbentuk deposit amigaliod
ekstraseluler.
3. Keracunan
aluminium
Teori keracunan aluminium menyatakan bahwa karena
aluminium bersifat neurotoksik, maka dapat menyebabkan perubahan neurofibrilar
pada otak. Deposit aluminium telah diidentifikasi pada beberapa klien dengan
penyakit alzheimer, tetapi beberapa perubahan patologis yang meyerupai penyakit
ini berbeda dengan yang terlihat pada keracunan aluminium. Kebanyakan
penyelidik menyakini dengan alasan utama aluminium merupakan logam yang
terbanyak dalam kerak bumi dan sistem pencernaan manusia tidak dapat
mencernanya.
Predisposisi genetik juga ikut berperan dalam
perkembangan penyakit alzheimer. Diperkirakan 10-30% klien alzheimer mengalami
tipe yang diwariskan dan dinyatakan sebagai penyakit alzheimer familiar(FAD).
Dipihak lain, benzodiazepin dibuktikan mengganggu fungsi
kognitif selain memiliki efek anti-ansietas, mungkin melalui reseptor GABA yang
menghambat pelepas muatan neuron-neuron kolinergik di nukleus basalis. Terdapat
bukti-bukti awal bahwa obat yang menghambat reseptor GABA memperbaiki ingatan.
C.
PATOFISIOLOGI
Patologi anatomi dari Penyakit Alzheimer meliputi
dijumpainya Neurofibrillary Tangles (NFTs), plak senilis dan atropi
serebrokorteks yang sebagian besar mengenai daerah asosiasi korteks khususnya
pada aspek medial dari lobus temporal.Meskipun adanya NFTs dan plak senilis
merupakan karakteristik dari Alzheimer, mereka bukanlah suatu patognomonik.
Sebab, dapat juga ditemukan pada berbagai penyakit neurodegeneratif lainnya
yang berbeda dengan Alzheimer, seperti pada penyakit supranuklear palsy yang
progresif dan demensia pugilistika dan pada proses penuaan normal.
Distribusi NFTs dan plak senilis harus dalam jumlah yang
signifikan dan menempati topograpfik yang khas untuk Alzheimer. NFTs dengan
berat molekul yang rendah dan terdapat hanya di hippokampus, merupakan tanda
dari proses penuaan yang normal. Tapi bila terdapat di daerah medial lobus
temporal, meski hanya dalam jumlah yang kecil sudah merupakan suatu keadaaan
yang abnormal.Selain NFTs dan plak senilis, juga masih terdapat lesi lain yang
dapat dijumpai pada Alzheimer yang diduga berperan dalam gangguan kognitif dan
memori, meliputi :
(1)
Degenerasi granulovakuolar Shimkowich
(2)
Benang-benang neuropil Braak , serta
(3)
Degenerasi neuronal dan sinaptik.
Berdasarkan formulasi di atas, tampak bahwa mekanisme
patofisiologis yang mendasari penyakit Alzheimer adalah terputusnya hubungan
antar bagian-bagian korteks akibat hilangnya neuron pyramidal berukuran medium
yang berfungsi sebagai penghubung bagian-bagian tersebut, dan digantikan oleh
lesi-lesi degeneratif yang bersifat toksik terhadap sel-sel neuron terutrama
pada daerah hipokampus, korteks dan ganglia basalis. Hilangnya neuron-neuron
yang bersifat kolinergik tersebut, meneyebabkan menurunnya kadar
neurotransmitter asetilkolin di otak. Otak menjadi atropi dengan sulkus yang
melebar dan terdapat peluasan ventrikel-ventrikel serebral.
D.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala Alzheimer
Berdasarkan National Alzheimer ‘s Association (2003), dibagi menjadi 3 tahap,
yaitu:
1.
Gejala Ringan (lama penyakit 1-3 tahun)
a.
Lebih
sering binggung dan melupakan informasi yang baru dipelajari.
b.
Diorintasi
: tersesat di daerah sekitar yang dikenalnya dengan baik.
c.
Bermasalah
dalam melaksanakan tugas rutin.
d.
Mengalami
perubahan dalam kepribadian dan penilaian misalnya mudah tersinggung,mudah
menuduh ada yang mengambil barangnya bahkan menuduh pasangannya tidak setia
lagi/selingkuh.
2. Gejala
sedang (lama penyakit 3-10 tahun)
a.
Kesulitan
dalam mengerjakan aktifitas hidup sehari –hari seperti makan dan mandi.
b.
Perubahan
tingkah laku misalnya : sedih dan emosi.
c.
Mengalami
gangguan tidur.
d.
Keluyuran.
e.
Kesulitan
mengenali keluarga dan teman(pertama-tama yang akan sulit untuk dikenali adalah
orang-orang yang paling jarang ditemuinya, mulai dari nama, hingga tidak
mengenali wajah sama sekali. Kemudian bertahap kepada orang-orang yang cukup
jarang ditemui).
3. Gejala
berat (lama penyakit 8-12 tahun)
a.
Sulit
/ kehilangan kemampuan berbicara
b.
Kehilangan
napsu makan, menurunya berat badan.
c.
Sangat
tergantung pada caregiver/pengasuh.
d.
Perubahan
perilaku misalnya : Mudah curiga, depresi, apatis atau mudah mengamuk
E.
PATOGENESIS
1.
Faktor Genetik
Beberapa penelitian
mengungkapkan 50 prevalensi kasus alzheimer ini diturunkan melalui gen
autosomal dominant. Individu keturunan garis pertama pada keluarga penderita
Alzheimer mempunyai resiko menderita dimension 6 kali lebih besar dibandingkan
kelompok control normal pemeriksaan genetika DNA pada penderitaan Alzheimer
dengan familial earli onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21, diregio
proksimal log arm, sedangkan pada familial late onset didapatkan kelainan lokus
pada kromosom 19. Begitu pula pada penderita down sindrom mempunyai kelainan
gen kromosom 21, setelah berumur 40 tahun terdapat neurofibrillary tangles
(NFT), senile plague dan penurunan market kolinegik pada jaringan otaknya yang
mengambarkan kelainan histopatologi pada penderita alzheimer .Hasil penelitian
penyakit Alzheimer terdapat anak kembar menunjukan 40-50 adalah monozygote dan
50 adalah dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa faktor genetic berperan dalam
penyakit Alzheimer. Pada sporadic non familial (50-70), beberapa penderitanya
ditemukan kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukan bahwa kemungkunan
faktor lingkungan menentukan ekspresi genetika pada Alzheimer.
2. Faktor
infeksi
Ada hipotesa
menunjukan penyebab infeksi pada keluarga penderita Alzheimer yang dilakukan
secara immune blot analisis, ternyata ditemukan adanya antibody reaktif.
Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang
bersifat lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti creutzfeldt-jacub
dan kuru, diduga berhubungan dengan penyakit Alzheimer. Hipotesa tersebut
mempunyai beberapa persamaan antara lain:
1.
Manifestasi
klinik yang sama.
2.
Tidak
adanya respon imun yang spesifik.
3.
Adanya
plak amyloid pada susunan saraf pusat.
4.
Timbulnya
gejala mioklonus.
5.
Adanya
gambaran spongioform.
3. Faktor
lingkungan
Ekmann (1988),
mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam patogenesa
penyakit Alzheimer. Faktor lingkungan antara lain, aluminium, silicon, mercury,
zinc. Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang
ditemukan neurofibrilary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal
tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaannya
aluminium adalah penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang
tumpang tindih. Pada penderita Alzheimer, juga ditemukan keadaan
ketidakseimbangan merkuri, nitrogen, fosfor,sodium, dengan patogenesa yang
belum jelas.Ada dugaan bahwa asam amino glutamate akan menyebabkan depolarisasi
melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler
(cairan-influks) dan menyebabkan kerusakan metabolism energy seluler dengan
akibat kerusakan dan kematian neuron.
4. Faktor
imunologis
Behan dan Felman
(1970) melaporkan 60% pasien yang menderita Alzheimer didapatkan kelainan serum
protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alphan protein, anti typsin
alphamarcoglobuli dan haptoglobuli. Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan
bermakna dan meningkat dari penderita alzhaimer dengan penderita tiroid. Tiroid
Hashimoto merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkan pada
wanita muda karena peranan faktor immunitas.
5. Faktor
trauma
Beberapa penelitian
menunjukan adanya hubungan pemyakit Alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini
dihubungan dengan petinju yang menderita demensia pugilistic, dimana pada
otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles.
6. Faktor
neurotransmiter
Perubahan
neurotransmiter pada jaringan otak penderita Alzheimer mempunyai peranan yang
sangat penting seperti :
a.
Asetikolin
Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap
aktivitas spesifik neurotransmitter dengan cara biopsy sterotaktik dan otopsi
jaringan otak pada penderita Alzheimer didapatkan penurunan aktivitas
kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan transport kolin serta penurunan
biosintesa asetilkolin. Adanya deficit presinaptik kolinergik ini bersifat
simetris pada korteks frontalis, temporalis superior, nucleus basalis,
hipokampus. Kelainan neurotransmitter asetilkolin merupakan kelainan yang
selalu ada dibandingkan jenis neurotransmitter lainnya pada penyakit Alzheimer,
dimana pada jaringan otak/biopsy selalu didapatkan kehilangan cholinergic
marker. Pada penelitian dengan pemberian scopolamine pada orang normal, akan
menyebabkan berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat mendukung
hipotesa kolinergik sebagai patogenesa penyakit Alzheimer.
b.
Noradrenalin
Kadar metabolism norepinefrin dan dopamine didapatkan menurun pada jaringan otak penderita Alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkolerasi dengan deficit kortikal noradrenergik. Bowen et al (1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak penderita Alzheimer menunjukan adanya defesit noradrenalin pada presinaptik neokorteks. Palmer et al (1987),Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi noradrenalin menurun baik pada post dan ante-mortem penderita Alzheimer.
Kadar metabolism norepinefrin dan dopamine didapatkan menurun pada jaringan otak penderita Alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkolerasi dengan deficit kortikal noradrenergik. Bowen et al (1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak penderita Alzheimer menunjukan adanya defesit noradrenalin pada presinaptik neokorteks. Palmer et al (1987),Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi noradrenalin menurun baik pada post dan ante-mortem penderita Alzheimer.
c.
Dopamine
Sparks etal (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurotransmitter region hypothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan akivitas dopamine pada penderita Alzheimer. Hasil ini masih controversial, kemungkinan disebabkan karena histopatologi region hypothalamus setia penelitian bebeda-beda.
Sparks etal (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurotransmitter region hypothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan akivitas dopamine pada penderita Alzheimer. Hasil ini masih controversial, kemungkinan disebabkan karena histopatologi region hypothalamus setia penelitian bebeda-beda.
d.
Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5 hidroxi-indolacetil acil pada biopsy korteks serebri penderita Alzheimer. Penurunan juga didapat pada subregio hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus sedangkan pada posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal. Perubahan kortikal serotonergik ini beghubungan dengan hilangnya neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada nucleus rephe dorsalis.
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5 hidroxi-indolacetil acil pada biopsy korteks serebri penderita Alzheimer. Penurunan juga didapat pada subregio hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus sedangkan pada posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal. Perubahan kortikal serotonergik ini beghubungan dengan hilangnya neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada nucleus rephe dorsalis.
e.
MAO
(manoamin oksidase)
Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter
monoamine. Akivitas normal MAO A untuk deaminasi serotonin, norepinefrin, dan
sebagian kecil dopamine, sedangakan MAO-B untuk deaminasi terutama dopamine.
Pada penderita Alzheimer, didapatkan peningkatan MAO A pada hipotalamus dan
frontalis sedangakan MAO-B pada daerah temporal dan menurun pada nucleus
basalis dari meynert.
F.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Neuropatologi
Diagnosa definitive tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi. Secara umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris sering kali berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr).Beverapa penelitian mengungkapkan atropi lebih menonjol pada lobus temporoparietal, anterior frontal sedangkan korteks oksipital, korteks motorik primer, system somatosensorik tetap utuh (jerins 1937) kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit Alzheimer terdiri dari :
Diagnosa definitive tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi. Secara umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris sering kali berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr).Beverapa penelitian mengungkapkan atropi lebih menonjol pada lobus temporoparietal, anterior frontal sedangkan korteks oksipital, korteks motorik primer, system somatosensorik tetap utuh (jerins 1937) kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit Alzheimer terdiri dari :
a.
Neurofibrillary tangles (NFT)
Merupakan sitoplasma neuronal yang terbentuk dari
filament-filamen abnormal yang berisi protein neurofilamen, hipokampus,
amigdala, substansia alba, lokus seruleus, dorsal raphe dari inti batang otak.
NFT selain didapatkan pada penyakit Alzheimer, juga ditemukan pada otak
manula,down sindromeparkinson, SSPE, sindroma ekstrapiramidal, supranuklear
palsy. Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya demensia.
b. Senile
plague (SP)
Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat
degenerasi nerve ending yang berisi filament-filamen abnormal, serat amiloid
ekstraseluler, astrosit, microglia. Amloid prekusor protein yang terdapat pada
neokorteks, amygdale, hipokampus, korteks somatosensorik, korteks piriformis,
dan sedikit didapatkan pada korteks motorik primer, korteks somatosensorik,
korteks visual dan auditorik. Senile plague ini juga terdapat pada jaringan
perifer. Perry (1987) mengatakan densitas senile plague berhubungan dengan
penurunan kolinergi. Kedua gambaran histopatologi (NFT dan senile plague)
merupakan gambaran karakteristik untuk penderita penyakit Alzheimer.
c. Degenerasi
neuron
Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian
neuron pada penyakit Alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks
terutama didapatkan pada neuron pyramidal lobus temporal dan frontalis. Juga
ditemukan pada hipokampus, amigdala, nucleus batang otak termasuk lokus
seruleus, raphe nucleus dan substanasia nigra. Kematian sel noradrenergic
terutama pada nucleus basalis dari meynert, dan sel noradrenergic terutama pada
lokus seruleus serta sel serotogenik pada pertumbuhan saraf pada neuron
kolinergik yang berdegenerasi pada lesi eksperimen binatang dan ini merupakan
harapan dalam pengobatan penyakit Alzheimer.
d. Perubahan
vakuoler
Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval
dan dapat menggeser nucleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna
dengan jumlah NFT dan SP, perubahan ini sering didapatkan pada korteks
temporomedial, amygdale dan insula. Tidak pernah ditemukan pada korteks
frontalis, parietal, oksipital, hipokampus, serebelum dan batang otak.
e. Lewy
body
Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak
terdapat pada anterhinal, gyrus cingulated, korteks insula, dan amydala.
Sejumlah kecil pada korteks frontalis, temporal, parietalis, oksipitalis. Lewy
body kortikal ini sama dengan immunoreaktivitas yang terjadi pada lewy body
batang otak pada gambaran histopatologi penyakit Parkinson. Hansen et al
menyatakan lewy body merupakan variasi dari penyakit Alzheimer.
2. Pemeriksaan
neuropsikologis
Penyakit
Alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan
neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungis
konginitif umum dan mengetahui secara rinci pola deficit yang terjadi. Test
psikologis ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh
beberapa bagian otak yang berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan
ekspresi, kalkulasi, perhatian dan pengertian berbahasa.
Evaluasi
neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi diagnostic yang penting karena
:
a.
Adanya
deficit konginitif yang berhubungan dengan demensia awal yang dapat diketahui
bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang normal.
b.
Pemeriksaan
neuropsikologi secara kompherensif memungkinkan untuk membedakan kelainan kongnitif
pada global demensia dengan defisit selektif yang diakibatkan oleh disfungsi
fokal, faktor metabolic, dan gangguan psikiatrik.
c.
Mengidentifikasi
gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh demensia karena
berbagai penyebab. (CERALD) menyajikan suatu prosedur penilaian neuropsikologis
denagn mempergunakan alat baterai yang bermanifestasi gangguan fungsi
kongnitif, dimana pemeriksaan terdiri dari :
o
Verbal fluency animal category.
o
Modifikasi
boston naming test.
o
Mini
mental state.
o
Word
list recall.
o
Construction
praxis.
o
Word
list memory.
o
Word
list recognition.
Test ini memakan
waktu 30-40 menit dan <20-30 menit pada control.
3. CT
Scan dan MRI
Merupakan
metode non invasif yang berevolusi tinggi untuk melihat kwantifikasi perubahan
volume jaringan otak pada penderita Alzheimer antemortem. Pemeriksaan ini
berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab demensia lainnya
selain Alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal
menyeluruh dan pembesaran vertikel keduannya merupakan gambaran marker dominan
yang sangat spesifik pada penyakit ini. Tetapi gambaran ini juga didapatkan
pada demensia lainnya seperti multiinfark, Parkinson, binswanger sehingga kita
sukar untuk membedakan denagn penyakit Alzheimer. Penipisan substansia alba
serebri dan pembesaran vertikel berkorelasi dengan beratnya gejala klinik dan
hasil pemeriksaan status mini mental. Pada MRI ditemukan peningkatan intensitas
pada daerah kortikal dan periventrikuler (capping anterior home pada ventrikel
lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk demensia awal. Selain
didapatkan kelainan dikortikal, gambaran atropi juga terlihat pada daerah
subkortikal seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran
sisterna basalis dan fissure sylvii. Seab et al, menyatakan MRI lebih sensitive
untuk membedakan demensia dari penyakit Alzheimer dengan penyebab lain, dengan
memperhatikan usuran (atropi) dari hipokampus.
4. EEG
Berguna
untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada penyakit
Alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis yang non
spesifik.
5. PET
(Positron Emission Tomography)
Pada
penderita Alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran darah, metabolisme
02, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123 sangat menurun pada regional
parietal, hasil ini sangat berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi dan
selalu dan sesuai dengan hasil observasi penelitian neuropatologi.
6.
SPECT (Single Photon Emission Computet Tomography)
Aktivitas
I.123 terendah pada refio parieral penderita Alzheimer. Kelainan ini
berkorelasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua
pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin.
7. Laboratorium
darah
Tidak
ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita Alzheimer.
Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit
demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calcium, Posfort, BSE,
fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, screening
antibody yang dilakukan secara selektif.
G.
PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan penyakit Alzheimer masih sangat terbatas oleh
karena penyebab dan patofisiologis masih belum jelas. Pengobatan simptomatik
dan suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada penderita dan keluarga.
Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan E belum mempunyai efek yang
menguntungkan.
1. Inhibitor kolinesterase
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan
inhibitor untuk pengobatan simptomatik penyakit Alzheimer, dimana penderita
Alzheimer didapatkan penurunan kadar asetilkolin. Untuk mencegah penurunan
kadar asetilkolin dapat digunakan anti kolinesterase yang bekerja secara
sentral seperti fisostigmin, THA (tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat ini
dikatakan dapat memperbaiki memori dan apraksia selama pemberian berlangsung.
Beberapa peneliti mengatakan bahwa obat-obatan anti kolinergik akan memperburuk
penampilan intelektual pada organ normal dan penderita Alzheimer.
2. Thiamin
Penelitian telah
membuktikan bahwa pada penderita Alzheimer didapatkan penurunan thiamin
pyrophosphatase dependent enzyme yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase
(45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada nucleus basalis. Pemberian
thiamin hidrochloryda dengan dosis 3gr/hari selama tiga bulan peroral,
menunjukan perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo
selama periode yang sama.
3. Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan
dapat memperbaiki fungsi kognisi dan proses belajar pada percobaan binatang.
Tetapi pemberian 4000mg pada penderita Alzheimer tidak menunjukan perbaikan
klinis yang bermakna.
4. Klonidin
Gangguan fungsi
intelektual pada penderita Alzheimer dapat disebabkan kerusakan noradrenergik
kortikal. Pemberian klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik alpha 2
reseptor agonis dengan dosis maksimal 1,2 mg peroral selama 4 mgg, didapatkan
hasil yang kurang memuaskan untuk memperbaiki fungsi kognitif.
5. Haloperiodol
Pada penderita Alzheimer, sering kali terjadi gangguan
psikosis (delusi, halusinasi) dan tingkah laku. Pemberian oral haloperiodol 1-5
mg/hari selama 4 mgg akan memperbaiki gejala tersebut. Bila penderita Alzheimer
menderita depresi sebaiknya diberikan tricyclic anti depressant
(aminitryptiline25-100 mg/hari).
6.
Acetyl
L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu substrate endogen yang disintesa didalam
mitokondria dengan bantuan enzim ALC transferace. Penelitian ini menunjukan
bahwa ALC dapat meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin
asetiltransferase. Pada pemberiaan dosis 1-2 gr /hari/oral selama 1 tahun dalam
pengobatan, disimpulakan bahwa dapat memperbaiki atau menghambat progresifitas
kerusakan fungsi kognitif.
0 komentar:
Posting Komentar