A.
Definisi
DBD
adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan virus Dengue tipe I-IV, disertai
demam 5-7 hari gejala-gejala perdarahan, dan bila timbul syok: angka kematian
cukup tinggi dimana terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh dalam
syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. Keadaan ini disebut dengue shock
syndrome (DSS). Masa Tunas atau periode sejak gigitan nyamuk aedes aegypty
hingga timbul gejala DHF memerlukan waktu selama 8-12 hari (Puskesmas Palaran,
2006 dan Student Stttelkom,2007).
Infeksi
virus Dengue telah menjadi masalah kesehatan yang serius pada banyak negara
tropis dan subtropis, oleh karena peningkatan jumlah penderita, menyebarluasnya
daerah yang terkena wabah dan manifestasi klinis berat yang merupakan keadaan
darurat yaitu Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) dan Dengue Shock Syndrome (DSS).
Antara tahun 1975 dan 1995, DD/DBD terdeteksi keberadaannya di 102 negara di
dari lima wilayah WHO yaitu: 20 negara di Afrika, 42 negara di Amerika, 7
negara di Asia Tenggara, 4 negara di Mediterania Timur dan 29 negara di Pasifik
Barat. Seluruh wilayah tropis di dunia saat ini telah menjadi hiperendemis
dengan ke-empat serotipe virus secara bersama-sama diwilayah Amerika, Asia
Pasifik dan Afrika. Indonesia, Myanmar, Thailand masuk kategori A yaitu :
KLB/wabah siklis) terulang pada jangka waktu antara 3 sampai 5 tahun. Menyebar
sampai daerah pedesaan, sirkulasi serotipe virus beragam (WHO, 2000 dan
Infeksi.com, 2007).
Menurut
sejarahnya, demam dengue di Indonesia mulai dilaporkan tahun 1779 oleh David
Bylon di Batavia. Penyakit ini disebut penyakit demam 5 hari yang dikenal
dengan knee trouble atau knokkel kootz. Penyakit ini terus merupakan masalah
endemis di negara kita. Perkembangannya hingga tahun 1998 penyakit DD/DBD
menyerang di 183 Dati II dari 27 propinsi dengan jumlah kasus 65.968 dan
kematian 1.275 (CFR= 1,9 %) (Harli Novriani, 2002).
Gejala
klinis DD/DBD yang ditemukan ikut menentukan derajat penyakitnya. Sedangkan
diagnosis laboratoris untuk menunjang gejala klinis ialah bila ditemukan
trombositopenia < 100.000 lul, hemokonsetrasi lebih 20% dari normal serta
dijumpainya pula kardiomegali, hepatomegali, efusi perikard dan efusi pleura
pada pemeriksaan USG dan sinar rontgen. Respon kekebalan-tubuh pada penderita
DD, DBD dan DSS meliputi respon imun non spesifik dan spesifIk. Respon spesifIk
meliputi respon kekebalan-tubuh humoral dan seluler. Respon kekebalan ini
mengikuti perjalanan penyakit DBD dari gradasi ringan, hingga berat (Harli
Novriani, 2002).
Ditambahkan
pula oleh Arif Mansjoer, dkk (2000) Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit
demam akut dengan ciri-ciri demam manifestasi perdarahan, dan bertendensi
mengakibatkan rejantan yang dapat menyebabkan kematian. Puncak
kasus DBD terjadi pada musim hujan yaitu bulan Desember sampai dengan
Maret.
B.
Etiologi
Menurut
Arif Mansjoer, dkk (2000) etiologi terjadinya DBD ialah disebabkan oleh virus
dengue serotipe 1, 2, 3 dan 4 yang ditularkan melalui vektor nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis dan beberapa spesies lain merupakan vektor yang kurang
berperan Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi
seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan
terhadap serotipe lain.
Lebih
lanjut Harli Novriani (2002) dan Infeksi.com (2007) mengatakan Demam dengue
(DD), demam berdarah dengue (DBD) dan dengue shock syndrome (DSS) disebabkan
virus dengue. Virus ini termasuk group B Arthropod borne virus (Arbovirus) dan
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae yang mempunyai 4
jenis serotipe, yaitu DEN-l, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Serotipe DEN-3 merupakan
serotipe yaang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat. Virus Dengue
ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis. Penularannya dapat langsung, yaitu melalui gigitan pada orang
yang sedang mengalami viremia, maupun secara tidak langsung setelah melalui
inkubasi dalam tubuhnya, yakni selama 8-10 hari (extrinsic incubation period).
Pada anak diperlukan waktu 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menjadi sakit setelah virus masuk ke dalam tubuh. Pada nyamuk, sekali virus
dapat masuk dan berkembaang biak dalam tubuhnya, maka nyamuk tersebut akan
dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Sedangkan pada manusia,
penularan hanya dapat terjadi pada saat tubuh dalam keadaan viremia yaitu
antara 5- 7 hari.
1.
Virus Dengue
Virus Dengue merupakan virus RNA untai
tunggal, genus flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, 2, 3 dan 4.
Struktur antigen ke-4 serotipe ini sangat mirip satu dengan yang lain, namun
antibodi terhadap masing-masing serotipe tidak dapat saling memberikan
perlindungan silang.. Variasi genetik yang berbeda pada ke-4 serotipe ini tidak
hanya menyangkut antar serotipe, tetapi juga didalam serotipe itu sendiri
tergantung waktu dan daerah penyebarannya. Pada masing-masing segmen codon,
variasi diantara serotipe dapat mencapai 2,6-11,0 % pada tingkat nukleotida dan
1,3-7,7 % untuk tingkat protein. Perbedaan urutan nukleotida ini ternyata
menyebabkan variasi dalam sifat biologis dan antigenitasnya. Virus Dengue yang
genomnya mempunyai berat molekul 11 Kb tersusun dari protein struktural dan
non-struktural. Protein struktural yang terdiri dari protein envelope (E),
protein pre-membran (prM) dan protein core (C) merupakan 25% dari total
protein, sedangkan protein non-struktural merupakan bagian yang terbesar (75%) terdiri
dari NS-1 dan NS-5. Dalam merangsang pembentukan antibodi diantara protein
struktural, urutan imunogenitas tertinggi adalah protein E, kemudian diikuti
protein prM dan C. Sedangkan pada protein non-struktural yang paling berperan
adalah protein NS-1 (Infeksi.com, 2007).
2.
Vektor
Virus Dengue ditularkan dari orang ke orang
melalui gigitan nyamuk Aedes (Ae.) dari subgenus Stegomyia. Ae. aegypti
merupakan vektor epidemi yang paling utama, namun spesies lain seperti Ae.
albopictus, Ae. polynesiensis, anggota dari Ae. Scutellaris complex, dan Ae.
(Finlaya) niveus juga dianggap sebagai vektor sekunder. Kecuali Ae. aegyti
semuanya mempunyai daerah distribusi geografis sendiri-sendiri yang terbatas.
Meskipun mereka merupakan host yang sangat baik untuk virus Dengue, biasanya
mereka merupakan vektor epidemi yang kurang efisien dibanding Ae. aegypti (WHO,
2000).
C.
Patogenesis dan Patofisiologis
Virus
hanya dapat hidup dalam sel hidup sehingga harus bersaing dengan sel manusia
terutama dalam kebutuhan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada
daya tahan manusia. Sebagai reaksi terhadap infeksi terjadi;
1. Aktivasi sistem komplemen sehingga dikeluarkan zat
anafilatoksin yang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan terjadi
pembesaran plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular,
2. Agregasi trombosit menurun, apabila kelainan
ini berlanjut akan menyebabkan kelainan fungsi trombosit, dan
3. Kerusakan sel endotel pembuluh darah akan
merangsang/mengaktivasi faktor pembekuan.
Ketiga
faktor tersebut akan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan kelainan
homestasis yang disebabkan oleh vasukulopati, trombositopenia dan koagulopati
(Arif Mansjoer, dkk, 2000).
Ditambahkan
lagi oleh WHO, 2000 bahwa patogenesis DBD tidak sepenuhnya dipahami, namun
terdapat dua perubahan patofisiologis yang menyolok, yaitu:
1. Meningkatnya permeabilitas kapiler yang mengakibatkan
bocornya plasma, hipovolemia dan terjadinya syok. Pada DBD terdapat kejadian
unik yaitu terjadinya kebocoran plasma ke dalam rongga pleura dan rongga
peritoneal. Kebocoran plasma terjadi singkat (24-48 jam).
2. Hemostasis abnormal yang disebabkan oleh vaskulopati,
trombositopeni dan koagulopati, mendahului terjadinya manifestasi perdarahan.
Aktivasi
sistem komplemen selalu dijumpai pada pasien DBD. Kadar C3 dan C5 rendah,
sedangkan C3a serta C5a meningkat. Mekanisme aktivasi komplemen tersebut belum
diketahui. Adanya kompleks imun telah dilaporkan pada DBD, namun demikian peran
kompleks antigen-antibodi sebagai penyebab aktivasi komplemen pada DBD belum
terbukti.
Selama ini diduga bahwa derajat keparahan penyakit DBD dibandingkan dengan DD dijelaskan dengan adanaya pemacuan dari multiplikasi virus di dalam makrofag oleh antibodi heterotipik sebagai akibat infesi Dengue sebelumnya. Namun demikian, terdapat bukti bahwa faktor virus serta respons imun cell-mediated terlibat juga dalam patogenesis DBD.
Selama ini diduga bahwa derajat keparahan penyakit DBD dibandingkan dengan DD dijelaskan dengan adanaya pemacuan dari multiplikasi virus di dalam makrofag oleh antibodi heterotipik sebagai akibat infesi Dengue sebelumnya. Namun demikian, terdapat bukti bahwa faktor virus serta respons imun cell-mediated terlibat juga dalam patogenesis DBD.
D.
Gejala atau Tanda
Menurut
Arif Mansjoer, dkk (2000) dan Infeksi.com (2007) gejala atau tanda klinik DBD
bervariasi mulai dari asimtomatik, penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam dengue, demam
berdarah dengue sampai sindrom syok dengue. Walaupun secara epidemiologis
infeksi ringan lebih banyak, tetapi pada awal penyakit hampir tidak mungkin
membedakan infeksi ringan atau berat. DBD biasanya ditandai dengan:
1.
Demam tinggi.
2. Fenomena perdarahan.
3. Hepatomegali.
4. Kegagalan sirkulasi.
5. Pada bayi dan anak berupa demam ringan disertai timbulnya
ruam makulopapular.
Pada
remaja dan dewasa dikenal sindrom
trias dengue berupa demam tinggi mendadak, nyeri pada anggota badan (kepala,
bola mata, punggung dan sendi) dan timbul ruam makulopapular. Tandai lain
menyerupai demam dengue yaitu anoreksia, muntah dan nyeri kepala.
Sedangkan
Puskesmas Palaran (2006) membagi gejala dan tanda DBD sebagai berikut :
1. Derajat 1: panas 5-7 hari, gejala umum tidak khas, RL (+)
2. Derajat 2: seperti derajat I + perdarahan
spontan (petekie, ekimosa, epistaksis, hematemesis, melena, perdarahan gusi,
uterus, telinga, dll)
3. Derajat 3: ada gejala kegagalan peredaran
darah seperti nadi lemah dan cepat (> 120 / menit), tekanan nadi sempit
(< 120 mmHg), tekanan darah menurun dapat mencapai 0
4. Derajat 4: nadi tidak teraba, tekanan darah tidak
terukur, denyut jantung > 140 / menit, acral dingin, berkeringat, kulit biru
Gejala
Lain : Hati membesar, nyeri spontan dan pada perabaan, Asites, Cairan dalam
roga pleura (kanan) dan Ensepalopati: kejang, gelisah, sopor, koma.
E.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa DBD menurut Arif Mansjoer,
dkk (2000) diantaranya adalah pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, hitung
trombosit, uji serologi HI (Haemagglutination
inhibiting antibod), Dengue blot. Jika didapati hasil Trombositopenia
ringan sampai nyata bersamaan dengan hemokonsentrasi adalah gejala yang
spesifik, leukosit normal pada 1-3 hari pertama, menurun saat akan terjadi syok
dan meningkat saat syok teratasi.
F.
Diagnosis
Dasar diagnosis DBD menurut WHO tahun 1997
antara lain (Arif Mansjoer, dkk, 2000 dan Infeksi.com, 2007):
a.
Klinis
1.
Demam tinggi dengan mendadak dan terus menerus selama 2-7
hari.
2. Manifestasi perdarahan, termasuk
setidak-tidaknya uji banding positif dan bentuk lain (petekie, purpura,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi), hematemesis atau melenan.
3. Pembesaran hati.
4.
Syok yang ditandai oleh nadi lemah, cepat disertai
tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmHg atau kurang), tekanan darah menurun
(tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang) disertai kulit yang
teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien
menjadi gelisah, timbul sianosis disekitar mulut.
b.
Laboratorium
Trombositopenia (< 100.000/ul) dan
hemokonsentrasi (nilai hematokrit lebih 20 % dari normal).
Dua gejala klinis pertama ditambah satu
gejala laboratoris cukup untuk menegakkan diagnosa kerja DBD.
c.
Indikator Fase Syok
1.
Hari sakit ke-4 atau ke-5
2. Suhu turun
3. Nadi cepat tanpa demam
4. Tekanan nadi turun/hipotensi
5.
Leukopenia < 5.000/mm3
d.
Derajat (Who 1997)
I. Demam dengan uji bendung positif.
II. Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit atau
perdarahan lain.
III. Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit yang
dingin, lembab dan pasien menjadi gelisah.
IV. Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan
darah tidak dapat terukur.
G.
Komplikasi
Komplikasi
yang dapat timbul pada pasien DBD adalah adanya syok yang dapat menyebabkan
kematian (Arif Mansjoer, dkk, 2000). Lebih lanjut dijabarkan dalam Kompas
Cyber Media (2004) penyebab dari kematian tersebut sbb: seperti diketahui,
sampai saat ini penurunan jumlah trombosit pada DBD diduga melalui beberapa
mekanisme. Antara lain karena terjadinya gangguan pada mekanisme pembuatannya
atau melalui penghancuran trombosit itu sendiri karena virusnya memang ganas.
Jumlah leukosit memang tidak meningkat, bahkan cenderung turun atau normal,
karena penurunan leukosit biasanya hanya pada infeksi bakteri. Penurunan jumlah
trombosit tidak menyebabkan plasma mengalir keluar, tetapi menyebabkan mudah
terjadinya perdarahan dan darah tidak membeku dengan baik. Kebocoran plasma
yang terjadi pada infeksi virus dengue terjadi akibat reaksi imunologis dan
menyebabkan gangguan sistem yang berakibat dinding pembuluh darah menjadi
bocor. Maka, terjadilah perembesan cairan darah (plasma) dan meninggalkan
sel-sel darah dalam pembuluh darah.
Kebocoran
ini bukan ke kulit, melainkan ke daerah lain di badan kita yang longgar dan
berongga, seperti selaput paru dan rongga perut. Akibat lain
adalah pembuluh darah menjadi kosong dan cairan darah menjadi lebih kental. Ini
ditandai dengan nilai hematokrit yang meningkat, yang dapat mengakibatkan
terjadinya syok dan fatal. Akibat syok tentu dapat mengganggu fungsi jantung
dan suplai darah ke otak, dan berakibat kematian. Apalagi bila terjadi
perdarahan yang banyak, tentu keadaan penderita menjadi sangat gawat. Bila syok
dapat diatasi dengan perawatan yang baik, dan transfusi darah untuk
menggantikan darah yang hilang juga dilakukan dengan baik, kemungkinan
penyembuhan masih sangat terbuka. Pemberian antibiotik memang tidak dapat
membunuh virus ini sehingga penatalaksanaan demam berdarah lebih untuk mencegah
tubuh kekurangan cairan dan menjaga jumlah trombosit agar tidak terjadi syok (Kompas Cyber Media, 2004).
H.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita DBD menurut Arif Mansjoer,
dkk (2000) pada dasarnya bersifat suportif yaitu mengatasi kehilangan cairan
plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat
perdarahan. Pasien Demam Dengue (DD) dapat berobat jalan sedangkan pasien Demam
Berdarah Dengue (DBD) di rawat di ruang perawatan biasa, tetapi pada kasus
dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Fase kritis pada umumnya
terjadi pada hari sakit ketiga.
Rasa
haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul karena demam tinggi, anoreksia dan
muntah. Pasien perlu diberi minum banyak , 50 ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama
berupa air teh dengan gula, sirup, susu, sari buah atau oralit. Setelah keadaan
dehidrasi dapat diatasi, berikan cairan rumatan 80-100 ml/kgBB dalam 24 jam
berikutnya. Hiperpireksi diatasi dengan antipiretik dan bila perlu surface cooling dengan kompres es dan alkohol
70%. Parasetamol direkomendasikan untuk mengatasi demam dengan dosis 10-15
mg/kgBB/kali.
Pemberian
cairan intravena pada pasien DBD tanpa rejantan dilakukan bila pasien terus
menerus muntah sehingga tidak mungkin diberi makanan peroral atau didapatkan
nilai hematokrit yang bertendensi terus meningkat (> 40 vol%).
Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan
elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% dalam 1/3 larutan NaCl 0,9%. Bila
terdapat asidosis, 1/4 dari jumlah larutan total dikeluarkan dan diganti dengan
larutan yang berisi 0,167 mol/liter natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi
larutan NaCl 0,9%+glukosa ditambah 1/4 natrium bikarbonat ). Apabila terdapat
kenaikan hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yang
diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang diperlukan
sesuai seperti cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu
cairan rumatan ditambah defisit 6% (5-8%). Pada anak gemuk, kebutuhan cairan
disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak yang berumur sama.
1. Jenis Cairan
Jenis cairan yang digunakan berdasarkan
rekomendasi WHO antara lain:
a.
Kristaloid
o Larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5%
dalam larutan ringer laktat (D5/RL).
o Larutan ringer asetat (RA) atau dekstrosa 5%
dalam larutan ringer asetat (D5/RA).
o Larutan NaCl 0,9% (garam faali=GF) atau dekstrosa 5%
dalam larutan garam faali (D5/GF)
b.
Koloid
1.
Dekstran 40
2.
Plasma
Pasien
harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah,
letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah,
tekanan nadi menyempit (menjadi 20 mmHg atau kurang) atau hipotensi dan
peningkatan mendadak kadar hematokrit atau kadar hematokrit yang meningkat
terus menerus walaupun telah diberikan cairan intr
2. Penanganan Syok
Dalam
keadaan renjatan berat diberikan cairan ringer laktat secara cepat (diguyur)
selama 30 menit. Apabila syok tidak teratasi dan atau keadaan klinis memburuk,
ganti cairan dengan koloid 10-20 ml/kgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30
ml/kgBB. Setelah perbaikan, segera cairan ditukar kembali dengan kristaloid
(tetesan 20 ml/kgBB). Bila dengan cairan koloid dan kristaloid syok belum
teratasi sedangkan kadar hematokrit tetap, diduga telah terjadi perdarahan,
maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar Ht tetap > 40
vol%, berikan darah sebanyak 10 ml/KgBB/jam, tetapi bila perdarahan masif
berikan 20ml/kgBB. Bila renjatan tidak berat diberikan cairan dengan kecepatan
20 ml/KgBB/jam.
Bila
renjatan sudah diatasi, nadi sudah jelas teraba, ampitudo nadi cukup besar,
tekanan sistolik 80 mmHg atau lebih, maka kecepatan tetesan dikurangi menjadi
10 ml/KgBB/jam. Kecepatan pemberian cairan selanjutnya disesuaikan dengan
gejala kinik dan nilai hematokrit yang diperiksa periodik. Evaluasi klinis,
nadi, tekanan darah, pernafasan, suhu dan pengeluaran urin dilakukan lebih
sering.
Perlu dilakukan monitoring, yaitu:
1. Nadi, tekanan darah, respirasi dan temperatur harus
dicatat setiap 15-30 menit atau lebih sampai syok teratasi.
2. Kadar hematokrit harus diperiksa setiap 4-6
jsm sampai keadaan klinis pasien stabil.
3. Setiap pasien harus mempunyai formulir
pemantauan mengenai jenis cairan, jumlah dan tetesan untuk mengetahui apakah
cairan yang diberikan sdah mencukupi.
4. Diuresis dipantau. Bila diuresis belum mencukupi 2
ml/KgBB/jam, sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, berikan
furosemid 1 mg/KgBB. Bila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok
belum teratasi dengan baik, maka pemasangan central
venous pressure (CVP) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian plasma
selanjutnya.
Cairan
intravena dapat dihentikan bila Ht telah turun sekitar 40 vol%. Jumlah urin
12ml/KgBB/jam atau lebih menandakan keadaan sirkulasi membaik. Pada umumnya
cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam sejak syok teratasi.
Apabila
cairan tetap diberikan pada saat reabsorbsi plasma dari ekstravaskular
(ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan),
maka akan menyebabkan hipervolemia, dengan akibat terjadi edema paru dan gagal
jantung. Penurunan Ht jangan dianggap sebagai tanda perdarahan tapi disebabkab
hemodilusi. Nadi yang kuat, diuresis cukup, tanda vital baik merupakan tanda
terjadinya fase reabsorbsi.
Pada
pasien gelisah, berikan kloralhidrat per oral atau per rektal dengan dosis
12,5-50 mg/KgBB (tidak melebihi 1 gram). Terapi dengan oksigen 2 liter per
menit harus selalu diberikan kepada semua pasien syok.
3. Ensefalopati Dengue
Pada ensefalopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis. Bila syok telah
teratasi maka cairan diganti dengan cairn yang tidak mengandung HCO3-
dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan segera ditukar dengan larutan
Nacl 0,9% : glukosa 5% = 3 : 1. Untuk mengurangi edema berikan kortikosteroid
kecuali terdapat perdarahan saluran cerna. Bila terdapat disfungsi hati,
berikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kaar gula darah diusahakan
> 60%, cegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi
julah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit.
Perawatan jalan napas dengan oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi
amoniak berikan neomisin dan laktulosa. Karena mudah terjadi infeksi sekunder,
berikan antibiotik profilaksis (kombinasi ampisilin 100 mg/KgBB/hari +
kloramfenikol 75 mg/KgBB/hari). Usahakan tidakmemberikan obat-obat yang tidak
diperlukan untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi
darah segar atau komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat. Bila
diperlukan transfusi tukar, pada masa penyembuhan dapat diberikan asam amino
rantai pendek.
I.
Kriteria Memulangkan Pasien
1.
Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Tampak perbaikan secara klinis
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah Trombosit > 50.000/μl
7. Tidak dijumpai distres pernapasan (disebabkan oleh efusi
pleura atau asidosis)
Lihat Juga Terapi Diet untuk Demam Berdarah Dengue (DBD)
Lihat Juga Terapi Diet untuk Demam Berdarah Dengue (DBD)
0 komentar:
Posting Komentar