Minggu, 29 April 2012

Demam Berdarah Dengue (DBD)


 A.    Definisi
DBD adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan virus Dengue tipe I-IV, disertai demam 5-7 hari gejala-gejala perdarahan, dan bila timbul syok: angka kematian cukup tinggi dimana terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh dalam syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. Keadaan ini disebut dengue shock syndrome (DSS). Masa Tunas atau periode sejak gigitan nyamuk aedes aegypty hingga timbul gejala DHF memerlukan waktu selama 8-12 hari (Puskesmas Palaran, 2006 dan Student Stttelkom,2007).
Infeksi virus Dengue telah menjadi masalah kesehatan yang serius pada banyak negara tropis dan subtropis, oleh karena peningkatan jumlah penderita, menyebarluasnya daerah yang terkena wabah dan manifestasi klinis berat yang merupakan keadaan darurat yaitu Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) dan Dengue Shock Syndrome (DSS). Antara tahun 1975 dan 1995, DD/DBD terdeteksi keberadaannya di 102 negara di dari lima wilayah WHO yaitu: 20 negara di Afrika, 42 negara di Amerika, 7 negara di Asia Tenggara, 4 negara di Mediterania Timur dan 29 negara di Pasifik Barat. Seluruh wilayah tropis di dunia saat ini telah menjadi hiperendemis dengan ke-empat serotipe virus secara bersama-sama diwilayah Amerika, Asia Pasifik dan Afrika. Indonesia, Myanmar, Thailand masuk kategori A yaitu : KLB/wabah siklis) terulang pada jangka waktu antara 3 sampai 5 tahun. Menyebar sampai daerah pedesaan, sirkulasi serotipe virus beragam (WHO, 2000 dan Infeksi.com, 2007).
Menurut sejarahnya, demam dengue di Indonesia mulai dilaporkan tahun 1779 oleh David Bylon di Batavia. Penyakit ini disebut penyakit demam 5 hari yang dikenal dengan knee trouble atau knokkel kootz. Penyakit ini terus merupakan masalah endemis di negara kita. Perkembangannya hingga tahun 1998 penyakit DD/DBD menyerang di 183 Dati II dari 27 propinsi dengan jumlah kasus 65.968 dan kematian 1.275 (CFR= 1,9 %) (Harli Novriani, 2002).
Gejala klinis DD/DBD yang ditemukan ikut menentukan derajat penyakitnya. Sedangkan diagnosis laboratoris untuk menunjang gejala klinis ialah bila ditemukan trombositopenia < 100.000 lul, hemokonsetrasi lebih 20% dari normal serta dijumpainya pula kardiomegali, hepatomegali, efusi perikard dan efusi pleura pada pemeriksaan USG dan sinar rontgen. Respon kekebalan-tubuh pada penderita DD, DBD dan DSS meliputi respon imun non spesifik dan spesifIk. Respon spesifIk meliputi respon kekebalan-tubuh humoral dan seluler. Respon kekebalan ini mengikuti perjalanan penyakit DBD dari gradasi ringan, hingga berat (Harli Novriani, 2002).
Ditambahkan pula oleh Arif Mansjoer, dkk (2000) Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut dengan ciri-ciri demam manifestasi perdarahan, dan bertendensi mengakibatkan rejantan yang dapat menyebabkan kematian.  Puncak kasus  DBD terjadi pada musim hujan yaitu bulan Desember sampai dengan Maret.

B.     Etiologi
Menurut Arif Mansjoer, dkk (2000) etiologi terjadinya DBD ialah disebabkan oleh virus dengue serotipe 1, 2, 3 dan 4 yang ditularkan melalui vektor nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies lain merupakan  vektor yang kurang berperan  Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe lain.
Lebih lanjut Harli Novriani (2002) dan Infeksi.com (2007) mengatakan Demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD) dan dengue shock syndrome (DSS) disebabkan virus dengue. Virus ini termasuk group B Arthropod borne virus (Arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae yang mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu DEN-l, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yaang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat. Virus Dengue ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis. Penularannya dapat langsung, yaitu melalui gigitan pada orang yang sedang mengalami viremia, maupun secara tidak langsung setelah melalui inkubasi dalam tubuhnya, yakni selama 8-10 hari (extrinsic incubation period). Pada anak diperlukan waktu 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menjadi sakit setelah virus masuk ke dalam tubuh. Pada nyamuk, sekali virus dapat masuk dan berkembaang biak dalam tubuhnya, maka nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Sedangkan pada manusia, penularan hanya dapat terjadi pada saat tubuh dalam keadaan viremia yaitu antara 5- 7 hari.
1.      Virus Dengue
Virus Dengue merupakan virus RNA untai tunggal, genus flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, 2, 3 dan 4. Struktur antigen ke-4 serotipe ini sangat mirip satu dengan yang lain, namun antibodi terhadap masing-masing serotipe tidak dapat saling memberikan perlindungan silang.. Variasi genetik yang berbeda pada ke-4 serotipe ini tidak hanya menyangkut antar serotipe, tetapi juga didalam serotipe itu sendiri tergantung waktu dan daerah penyebarannya. Pada masing-masing segmen codon, variasi diantara serotipe dapat mencapai 2,6-11,0 % pada tingkat nukleotida dan 1,3-7,7 % untuk tingkat protein. Perbedaan urutan nukleotida ini ternyata menyebabkan variasi dalam sifat biologis dan antigenitasnya. Virus Dengue yang genomnya mempunyai berat molekul 11 Kb tersusun dari protein struktural dan non-struktural. Protein struktural yang terdiri dari protein envelope (E), protein pre-membran (prM) dan protein core (C) merupakan 25% dari total protein, sedangkan protein non-struktural merupakan bagian yang terbesar (75%) terdiri dari NS-1 dan NS-5. Dalam merangsang pembentukan antibodi diantara protein struktural, urutan imunogenitas tertinggi adalah protein E, kemudian diikuti protein prM dan C. Sedangkan pada protein non-struktural yang paling berperan adalah protein NS-1 (Infeksi.com, 2007).
2.      Vektor
Virus Dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes (Ae.) dari subgenus Stegomyia. Ae. aegypti merupakan vektor epidemi yang paling utama, namun spesies lain seperti Ae. albopictus, Ae. polynesiensis, anggota dari Ae. Scutellaris complex, dan Ae. (Finlaya) niveus juga dianggap sebagai vektor sekunder. Kecuali Ae. aegyti semuanya mempunyai daerah distribusi geografis sendiri-sendiri yang terbatas. Meskipun mereka merupakan host yang sangat baik untuk virus Dengue, biasanya mereka merupakan vektor epidemi yang kurang efisien dibanding Ae. aegypti (WHO, 2000).

C.    Patogenesis dan Patofisiologis
Virus hanya dapat hidup dalam sel hidup sehingga harus bersaing dengan sel manusia terutama dalam kebutuhan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan manusia. Sebagai reaksi terhadap infeksi terjadi;
1. Aktivasi sistem komplemen sehingga dikeluarkan zat anafilatoksin yang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan terjadi pembesaran plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular,
2. Agregasi trombosit menurun, apabila kelainan ini berlanjut akan menyebabkan kelainan fungsi trombosit, dan
3. Kerusakan sel endotel pembuluh darah akan merangsang/mengaktivasi faktor pembekuan.
Ketiga faktor tersebut akan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan kelainan homestasis yang disebabkan oleh vasukulopati, trombositopenia dan koagulopati (Arif Mansjoer, dkk, 2000).
Ditambahkan lagi oleh WHO, 2000 bahwa patogenesis DBD tidak sepenuhnya dipahami, namun terdapat dua perubahan patofisiologis yang menyolok, yaitu:
1.  Meningkatnya permeabilitas kapiler yang mengakibatkan bocornya plasma, hipovolemia dan terjadinya syok. Pada DBD terdapat kejadian unik yaitu terjadinya kebocoran plasma ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal. Kebocoran plasma terjadi singkat (24-48 jam).
2.   Hemostasis abnormal yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopeni dan koagulopati, mendahului terjadinya manifestasi perdarahan.
Aktivasi sistem komplemen selalu dijumpai pada pasien DBD. Kadar C3 dan C5 rendah, sedangkan C3a serta C5a meningkat. Mekanisme aktivasi komplemen tersebut belum diketahui. Adanya kompleks imun telah dilaporkan pada DBD, namun demikian peran kompleks antigen-antibodi sebagai penyebab aktivasi komplemen pada DBD belum terbukti.
Selama ini diduga bahwa derajat keparahan penyakit DBD dibandingkan dengan DD dijelaskan dengan adanaya pemacuan dari multiplikasi virus di dalam makrofag oleh antibodi heterotipik sebagai akibat infesi Dengue sebelumnya. Namun demikian, terdapat bukti bahwa faktor virus serta respons imun cell-mediated terlibat juga dalam patogenesis DBD.

D.    Gejala atau Tanda
Menurut Arif Mansjoer, dkk (2000) dan Infeksi.com (2007) gejala atau tanda klinik DBD bervariasi mulai dari asimtomatik, penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam dengue, demam berdarah dengue sampai sindrom syok dengue. Walaupun secara epidemiologis infeksi ringan lebih banyak, tetapi pada awal penyakit hampir tidak mungkin membedakan infeksi ringan atau berat. DBD biasanya ditandai dengan:
1.      Demam tinggi.
2.      Fenomena perdarahan.
3.      Hepatomegali.
4.      Kegagalan sirkulasi.
5. Pada bayi dan anak berupa demam ringan disertai timbulnya ruam makulopapular.
Pada remaja dan dewasa dikenal sindrom trias dengue berupa demam tinggi mendadak, nyeri pada anggota badan (kepala, bola mata, punggung dan sendi) dan timbul ruam makulopapular. Tandai lain menyerupai demam dengue yaitu anoreksia, muntah dan nyeri kepala.
Sedangkan Puskesmas Palaran (2006) membagi gejala dan tanda DBD sebagai berikut :
1.     Derajat 1: panas 5-7 hari, gejala umum tidak khas, RL (+)
2.      Derajat 2: seperti derajat I + perdarahan spontan (petekie, ekimosa, epistaksis, hematemesis, melena, perdarahan gusi, uterus, telinga, dll)
3.     Derajat 3: ada gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat (> 120 / menit), tekanan nadi sempit (< 120 mmHg), tekanan darah menurun dapat mencapai 0
4.   Derajat 4: nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur, denyut jantung > 140 / menit, acral dingin, berkeringat, kulit biru
Gejala Lain : Hati membesar, nyeri spontan dan pada perabaan, Asites, Cairan dalam roga pleura (kanan) dan Ensepalopati: kejang, gelisah, sopor, koma.
E.     Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa DBD menurut Arif Mansjoer, dkk (2000) diantaranya adalah pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, hitung trombosit, uji serologi HI (Haemagglutination inhibiting antibod), Dengue blot. Jika didapati hasil Trombositopenia ringan sampai nyata bersamaan dengan hemokonsentrasi adalah gejala yang spesifik, leukosit normal pada 1-3 hari pertama, menurun saat akan terjadi syok dan meningkat saat syok teratasi.

F.      Diagnosis
Dasar diagnosis DBD menurut WHO tahun 1997 antara lain (Arif Mansjoer, dkk, 2000 dan Infeksi.com, 2007):
a.      Klinis
1.      Demam tinggi dengan mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari.
2.    Manifestasi perdarahan, termasuk setidak-tidaknya uji banding positif dan bentuk lain (petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi), hematemesis atau melenan.
3.      Pembesaran hati.
4.      Syok yang ditandai oleh nadi lemah, cepat disertai tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmHg atau kurang), tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah, timbul sianosis disekitar mulut.
b.      Laboratorium
Trombositopenia (< 100.000/ul) dan hemokonsentrasi (nilai hematokrit lebih 20 % dari normal).
Dua gejala klinis pertama ditambah satu gejala laboratoris cukup untuk menegakkan diagnosa kerja DBD.
c.       Indikator Fase Syok
1.      Hari sakit ke-4 atau ke-5
2.      Suhu turun
3.      Nadi cepat tanpa demam
4.      Tekanan nadi turun/hipotensi
5.      Leukopenia < 5.000/mm3
d.     Derajat (Who 1997)
                                              I. Demam dengan uji bendung positif.
                                            II. Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain.
                    III. Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit yang dingin, lembab dan pasien menjadi gelisah.
                                      IV.  Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat terukur.
G.    Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada pasien DBD adalah adanya syok yang dapat menyebabkan kematian  (Arif Mansjoer, dkk, 2000). Lebih lanjut dijabarkan dalam Kompas Cyber Media (2004) penyebab dari kematian tersebut sbb: seperti diketahui, sampai saat ini penurunan jumlah trombosit pada DBD diduga melalui beberapa mekanisme. Antara lain karena terjadinya gangguan pada mekanisme pembuatannya atau melalui penghancuran trombosit itu sendiri karena virusnya memang ganas. Jumlah leukosit memang tidak meningkat, bahkan cenderung turun atau normal, karena penurunan leukosit biasanya hanya pada infeksi bakteri. Penurunan jumlah trombosit tidak menyebabkan plasma mengalir keluar, tetapi menyebabkan mudah terjadinya perdarahan dan darah tidak membeku dengan baik. Kebocoran plasma yang terjadi pada infeksi virus dengue terjadi akibat reaksi imunologis dan menyebabkan gangguan sistem yang berakibat dinding pembuluh darah menjadi bocor. Maka, terjadilah perembesan cairan darah (plasma) dan meninggalkan sel-sel darah dalam pembuluh darah.
Kebocoran ini bukan ke kulit, melainkan ke daerah lain di badan kita yang longgar dan berongga, seperti selaput paru dan rongga perut. Akibat lain adalah pembuluh darah menjadi kosong dan cairan darah menjadi lebih kental. Ini ditandai dengan nilai hematokrit yang meningkat, yang dapat mengakibatkan terjadinya syok dan fatal. Akibat syok tentu dapat mengganggu fungsi jantung dan suplai darah ke otak, dan berakibat kematian. Apalagi bila terjadi perdarahan yang banyak, tentu keadaan penderita menjadi sangat gawat. Bila syok dapat diatasi dengan perawatan yang baik, dan transfusi darah untuk menggantikan darah yang hilang juga dilakukan dengan baik, kemungkinan penyembuhan masih sangat terbuka. Pemberian antibiotik memang tidak dapat membunuh virus ini sehingga penatalaksanaan demam berdarah lebih untuk mencegah tubuh kekurangan cairan dan menjaga jumlah trombosit agar tidak terjadi syok (Kompas Cyber Media, 2004).

H.    Penatalaksanaan
            Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita DBD menurut Arif Mansjoer, dkk (2000) pada dasarnya bersifat suportif yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien Demam Dengue (DD) dapat berobat jalan sedangkan pasien Demam Berdarah Dengue (DBD) di rawat di ruang perawatan biasa, tetapi pada kasus dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Fase kritis pada umumnya terjadi pada hari sakit ketiga.

Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul karena demam tinggi, anoreksia dan muntah. Pasien perlu diberi minum banyak , 50 ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama berupa air teh dengan gula, sirup, susu, sari buah atau oralit. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi, berikan cairan rumatan 80-100 ml/kgBB dalam 24 jam berikutnya. Hiperpireksi diatasi dengan antipiretik dan bila perlu surface cooling dengan kompres es dan alkohol 70%. Parasetamol direkomendasikan untuk mengatasi demam dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali.
Pemberian cairan intravena pada pasien DBD tanpa rejantan dilakukan bila pasien terus menerus muntah sehingga tidak mungkin diberi makanan peroral atau didapatkan nilai hematokrit yang bertendensi terus meningkat   (> 40 vol%). Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% dalam 1/3 larutan NaCl 0,9%. Bila terdapat asidosis, 1/4 dari jumlah larutan total dikeluarkan dan diganti dengan larutan yang berisi 0,167 mol/liter natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan NaCl 0,9%+glukosa ditambah 1/4 natrium bikarbonat ). Apabila terdapat kenaikan hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai seperti cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan ditambah defisit 6% (5-8%). Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak yang berumur sama. 
1.      Jenis Cairan
Jenis cairan yang digunakan berdasarkan rekomendasi WHO antara lain:
a.      Kristaloid
o   Larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL).
o   Larutan ringer asetat (RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA).
o  Larutan NaCl 0,9% (garam faali=GF) atau dekstrosa 5% dalam larutan garam faali (D5/GF)
b.      Koloid
1.      Dekstran 40
2.      Plasma
Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit (menjadi 20 mmHg atau kurang) atau hipotensi dan peningkatan mendadak kadar hematokrit atau kadar hematokrit yang meningkat terus menerus walaupun telah diberikan cairan intr
2.      Penanganan Syok
Dalam keadaan renjatan berat diberikan cairan ringer laktat secara cepat (diguyur) selama 30 menit. Apabila syok tidak teratasi dan atau keadaan klinis memburuk, ganti cairan dengan koloid 10-20 ml/kgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/kgBB. Setelah perbaikan, segera cairan ditukar kembali dengan kristaloid (tetesan 20 ml/kgBB). Bila dengan cairan koloid dan kristaloid syok belum teratasi sedangkan kadar hematokrit tetap, diduga telah terjadi perdarahan, maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar Ht tetap > 40 vol%, berikan darah sebanyak 10 ml/KgBB/jam, tetapi bila perdarahan masif berikan 20ml/kgBB. Bila renjatan tidak berat diberikan cairan dengan kecepatan 20 ml/KgBB/jam.
Bila renjatan sudah diatasi, nadi sudah jelas teraba, ampitudo nadi cukup besar, tekanan sistolik 80 mmHg atau lebih, maka kecepatan tetesan dikurangi menjadi 10 ml/KgBB/jam. Kecepatan pemberian cairan selanjutnya disesuaikan dengan gejala kinik dan nilai hematokrit yang diperiksa periodik. Evaluasi klinis, nadi, tekanan darah, pernafasan, suhu dan pengeluaran urin dilakukan lebih sering.
Perlu dilakukan monitoring, yaitu:
1.   Nadi, tekanan darah, respirasi dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau lebih sampai syok teratasi.
2.  Kadar hematokrit harus diperiksa setiap 4-6 jsm sampai keadaan klinis pasien stabil.
3. Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan mengenai jenis cairan, jumlah dan tetesan untuk mengetahui apakah cairan yang diberikan sdah mencukupi.
4. Diuresis dipantau. Bila diuresis belum mencukupi 2 ml/KgBB/jam, sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, berikan furosemid 1 mg/KgBB. Bila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok belum teratasi dengan baik, maka pemasangan central venous pressure (CVP) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian plasma selanjutnya.
Cairan intravena dapat dihentikan bila Ht telah turun sekitar 40 vol%. Jumlah urin 12ml/KgBB/jam atau lebih menandakan keadaan sirkulasi membaik. Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam sejak syok teratasi.
Apabila cairan tetap diberikan pada saat reabsorbsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia, dengan akibat terjadi edema paru dan gagal jantung. Penurunan Ht jangan dianggap sebagai tanda perdarahan tapi disebabkab hemodilusi. Nadi yang kuat, diuresis cukup, tanda vital baik merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.
Pada pasien gelisah, berikan kloralhidrat per oral atau per rektal dengan dosis 12,5-50 mg/KgBB (tidak melebihi 1 gram). Terapi dengan oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan kepada semua pasien syok.
3.      Ensefalopati Dengue
            Pada ensefalopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis. Bila syok telah teratasi maka cairan diganti dengan cairn yang tidak mengandung HCO3- dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan segera ditukar dengan larutan Nacl 0,9% : glukosa 5% = 3 : 1. Untuk mengurangi edema berikan kortikosteroid kecuali terdapat perdarahan saluran cerna. Bila terdapat disfungsi hati, berikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kaar gula darah diusahakan > 60%, cegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi julah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan napas dengan oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak berikan neomisin dan laktulosa. Karena mudah terjadi infeksi sekunder, berikan antibiotik profilaksis (kombinasi ampisilin 100 mg/KgBB/hari + kloramfenikol 75 mg/KgBB/hari). Usahakan tidakmemberikan obat-obat yang tidak diperlukan untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat. Bila diperlukan transfusi tukar, pada masa penyembuhan dapat diberikan asam amino rantai pendek.
I.       Kriteria Memulangkan Pasien
1.      Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2.      Nafsu makan membaik
3.      Tampak perbaikan secara klinis
4.      Hematokrit stabil
5.      Tiga hari setelah syok teratasi
6.      Jumlah Trombosit > 50.000/μl
7.  Tidak dijumpai distres pernapasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)

Lihat Juga Terapi Diet untuk Demam Berdarah Dengue (DBD)

0 komentar:

Posting Komentar