Minggu, 15 April 2012

Mencintai Rasulullah SAW

Setiap memasuki Bulan Rabi'ul Awwal umat Islam di Indonesia khususnya banyak disibukkan dengan berbagai macam rangkaian kegiatan yang biasa disebut peringatan maulid Nabi Muhammad saw. Di masjid-masjid, mushalla-mushalla, majlis taklim-majlis taklim, kantor-kantor pemerintahan dan swasta, bahkan sampai ke Istana negara tidak luput dari kegiatan semacam itu. Beragam variasi kegiatan dilakukan, dengan satu semangat yang mereka sebut sebagai hormat dan cinta kepada Rasulullah saw.

Untuk itulah, sekalipun di tengah masa krisis ekonomi sekalipun, mereka tak segan-segan meluangkan waktu, memeras keringat dan rela mengeluarkan banyak biaya. Untuk suatu kepanitiaan acara tersebut minimal dikeluarkan anggaran dua juta rupiah. Di Jabotabek, hampir bisa dipastikan ada lebih dari 500 acara peringatan yang digelar, maka bila dikumpulkan, untuk penyelenggaraan itu saja, dalam satu bulan ini akan terkumpul dana yang cukup besar ; 1 miliyar rupiah, suatu jumlah yang sangat berarti untuk membantu ummat mengatasi masalah akibat krisis moneter tersebut.

Dengan melaksanakan acara peringatan maulid nabi mereka mengklaim diri mereka sebagai orang yang mencintai Rasulullah saw. Bahkan mereka menuduh orang atau kelompok yang tidak melaksanakannya tidak mencintai Rasulullah saw. Padahal kalau mencari asal-usul peringatan tersebut tidaklah kita dapatkan pada generasi terdahulu umat ini.

Memang benar cinta dan hormat kepada Rasulullah bukan saja ciri keimanan seorang muslim tetapi dia adalah kebenaran ilmiah dan realita yang mensejarah, sebab seperti diakui oleh Encyclopedia Britanica :

"Muhammad (saw) merupakan salah satu tokoh dunia agama seluruhnya yang paling sukses dan paling beruntung" (Asy-Syeikh Khalil Yasin,1991/81), tetapi cinta dan hormat kepada Rasulullah saw. hakekatnya adalah cinta pada Allah, yang tercermin pada ittiba' kita kepada Rasulullah saw, Allah SWT berfirman :

Artinya :"Katakanlah bila kalian sungguh cinta kepada Allah maka ikutilah Aku (Muhammad) sehingga Allah pun pasti akan mencintai anda bahkan mengampuni dosa-dosa anda " (QS 3: 31)

Rasulullah SAW menyatakan dengan amat jelas bahwa fungsi pengutusannya sebagai penyelamat manusia dalam kehidupan ini. Allah pun seringkali menjelaskan dalam al-Qur'an tentang fungsi Rasul bagi kehidupan manusia (lihat QS 3: 103, 163 dan 62: 2).

Fungsi itulah yang seharusnya dijadikan tema sentral untuk memotivasi umat agar meneladani jalan hidup Rasulullah saw yang sarat dengan niali-nilai dalam berbagai aspek kehidupan, maka jangan malu-malu dan jangan ragu meyakini dan menyatakan "ar-Rasul Qudwatuna" (Rasulullah Muhammad saw adalah Teladan kami).

Kalau pengakuan tersebut hanya sebatas pengakuan belaka, tanpa dilandasi keyakinan yang kokoh dan tindak lanjut berupa kerja nyata; maka -dikhawatirkan- hal itu akan menjadi fatamorgana yang merupakan sikap kekufuran atau sikap kemunafikan (na'uzubillah), karena istilah iman artinya; keyakinan, pengakuan dan pembuktian; meyakini dengan hati, mengakui dengan pengungkapan lisan atau tulisan dan membuktikannya dengan amal perbuatan dan kerja nyata (Abdul Majid az-Zindani, 1983-8).

Cinta terhadap Rasulullah saw. mutlak harus dimiliki oleh setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah swt. bahkan sekedar adanya rasa cinta kepada Rasullah saw. tersebut belumlah cukup seorang dikatakan telah beriman, tapi harus mengalahkan perasaan-perasaan cinta yang lain, termasuk rasa cinta kepada dirinya sendiri.

Ketika Umar ibn Khattab ra. mendengar Rasulullah saw. bersabda:

"Tidaklah beriman seorang di antara kalian sehingga aku lebih ia cintai dari bapaknya, anaknya, dan dari semua manusia", ia berkata: "Demi Allah, wahai Rasulullah saw. sungguh Engkau telah aku cintai lebih dari semuanya, kecuali dari diri saya sendiri". Mendengar ungkapannya Rasulullah saw. bersabda: "Tidak Umar, sampai Engkau mencintai aku melebihi cintamu terhadap dirimu sendiri". Umar menjawab: "Sekarang wahai Rasulullah saw. sungguh Engkau telah aku cintai melebihi diriku sendiri".

Menomer duakan cinta Rasulullah saw. bukan hanya menafikan keimanan seseorang, bahkan mengakibatkan datangnya azab Allah swt. kepadanya. Allah swt berfirman:

"Katakanlah! Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum kerabatmu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang engkau khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang engkau sukai adalah lebih engkau cintai daripada Allah, Rasul-Nya, dan berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. QS. Al Taubah: 24.

Kata cinta biasa diidentikkan dengan suka atau senang, tetapi rasa cinta itu juga dibarengi dengan harapan pada sesuatu yang disukai serta ada kekhawatiran kehilangan sesuatu itu. Dengan kata lain cinta adalah paduan suka, harap dan takut pada hati manusia.

Cinta secara umum dapat dibagi dua:

1. Cinta syahwati yaitu rasa cinta yang didasari keinginan untuk memiliki yang dicintai, rasa suka kepada sesuatu merupakan bawaan manusia yang suci (fitrah), motivasi rasa cinta syahwati adalah keinginan pribadi belaka.

2. Cinta imani, yaitu rasa cinta yang motivasinya adalah keimanan.
Cinta kepada Rasulullah adalah cinta yang motivasinya iman kepada Allah, sedangkan meniru, meneladani, mengikuti dan mentaati ajaran Rasulullah adalah konsekuensi dari pengakuan dan perasaan cinta. Itulah maksud dari firmanAllah SWT:

Artinya :"Katakanlah bila kalian cinta kepada Allah maka ikutilah Aku (Muhammad) sehingga Allah pun pasti akan mencintai anda bahkan mengampuni dosa-dosa anda ". (QS 3: 31)

Dengan dalil-dalil di atas maka jelaslah bahwa cinta Rasulullah saw. merupakan suatu kewajiban yang harus di utamakan. Permasalahannya adalah bagaimana bentuk kecintaan kita kepada beliau.

Kecintaan seorang terhadap Rasulullah dikatakan benar manakala memenuhi beberapa kriteria berikut:

1. Senantiasa mentaati perintahnya.
Mentaati Rasulullah saw. dalam segala perintahnya adalah merupakan satu keniscayaan bagi setiap pribadi umat Islam, dalam hal yang disukai ataupun tudak disukainya. Karena semua perintahnya mengandung kebaikan bagi umatnya. Hal ini tiada lain karena pribadi Rasulullah saw. yang ma'shum, dan seluruh ketetapannya adalah wahyu. Seorang yang perilakunya terbingkai dalam ketaatan kepadanya adalah merupakan cerminan kecintaannya kepada beliau.

2. Selalu mengingatnya.
Orang yang mencintai Rasulullah saw. ia akan senantiasa mengingatnya dalam setiap aktivitasnya. Dalam melaksanakan aktivitasnya ia selalu berusaha mengacu pada ketetapan Rasulullah saw. Ia juga banyak memanjatkan shalawat kepadanya.

3. Selalu merindukannya.
Orang yang merindukan Rasulullah saw. ia akan senantiasa berusaha melaksanakan amalan-amalan yang akan mendekatkan posisinya dari Rasulullah saw. sebagaimana yang beliau tegaskan dalam hadis-hadisnya, di antaranya dengan mengasuh anak yatim dan menanggung beban hidupnya. Rasulullah menggambarkan kedekatan orang tersebut dengannya sebagaimana dekatnya jari telunjuk dengan jari tengah

4. Rela berkorban untuknya.
Kadar kecintaan seseorang bisa diukur dengan kesiapan dia untuk berkorban demi orang yang dicintainya. Begitu pula cinta kepada Rasulullah saw.
Seorang sahabat yang bernama Khabbab ibn 'Ady, didepan salib kematiannya ditanya:
"Maukah engkau dibebaskan dari hukuman ini dengan syarat Muhammad menggantikan posisimu?"

Dia menjawab: "Demi Allah, saya tidak akan rela jika muhammad tertusuk duri sementara aku dalam keadaan aman, apalagi harus mengganti posisiku ini".

Hal tersebut menunjukkan betapa besar kecintaannya kepada Rasulullah saw. Kemudian ia menyampaikan untaian syair yang terkenal. Ia berkata:

"Aku tidak peduli dalam kondisi apapun dan bagian manapun (dari anggauta tubuhku) aku harus menemui kematianku, selama aku mati dalam keadaan muslim".

Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan, bahwa central-Issue ketika mengenang kelahiran Nabi saw, yaitu menjadikan Rasul sebagai panutan agung dan qudwah hasanah dalam kehidupan kita sehari-hari.

Pada tanggal 12 Rabiul Awal yang merupakan tanggal kelahiran Rasulullah sesungguhnya juga merupakan tanggal wafat Rasulullah saw. Saat itu para Sahabat menangis dan bersedih hati berpisah dan ditinggalkan beliau.

Adakah kita juga bersedih karena ditinggalkan Rasulullah saw sebagai qudwah kita atau sebaliknya bergembira ria dengan acara yang justru tak pernah beliau tuntunkan.

Wallaahu a'lam bii Al Shawab.

0 komentar:

Posting Komentar