Karakteristik manusia Indonesia yang seperti membentuk sistem kekeluargaan yang kental (familization). Proses alamiah manusia Indonesia dari genetika membuahkan gerakan ekonomi, politik, budaya, dan sistem spiritual. Dalam beberapa contoh masyarakat Indonesia kuna dalam proses ekonomi yaitu domistifikasi logistik. Domestifikasi logistik yaitu adanya pembagian tugas dalam keluarga untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Dalam aspek spiritual, timbulnya sistem kepercayaan kepada "Sang Hyang" (Sang Pencipta, Sang Pemelihara, dll). Kepercayaan Animisme dan Dinamisme yang ada dalam pribadi manusia Indonesia ini. Kepercayaan kepada leluhur yang telah memberikan keberkahan hidup melalui mitologi-mitologi (foklor) dan hal ini ketika diaplikasikan dalam tatanan sosial, akan sistem kekeluargaan yang kental.
Sistem kekeluargaan yang kental dalam daerah atau tempat ini disebut dengan desa. Desa adalah istilah untuk desa di Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Di wilayah lain Kepulauan Indonesia berbagai nama berbeda dipakai; gampong, kampong, kuta, nagari, dst. Kampong atau gampong dipakai oleh orang Eropa di Indonesia untuk menunjuk pada permukiman Indonesia dimanapun. Artinya, sebuah sistem masyarakat di Indonesia berdasar pada genetika keluarga, sehingga tumbuh menjadi wilayah yang disebut perkampungan.
Sistem kekeluargaan (familization), membentuk suatu sistem nilai yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Seperti di kampung adat lombok yang memiliki sistem nilai dan penyatuan antara agama dan budaya. Antara Islam dan budaya Sasak, dan antara Hindu dengan budaya Sasak. Menariknya, dalam singkretisme agama dan budaya saling mengajarkan kebaikan.
Sejarah singkat kampung Karang Bajo adalah masyarakat yang berprofesi sebagai pelaut ulung dan penggarap pertanian. Nah, nama Karang Bajo itu memiliki filosofi sendiri. Karang yang berarti kuat, tegar, tangguh. Dan Bajo berasal dari nama seorang leluhur mereka. Yang sangat hebat dalam melaut, dan hebat juga dalam bercocok tanam. Kemudian kampung Karang Bajo adalah nama wilayah keturunan dari Bajo.
Pada awalnya, Suku Bajo memeluk kepercayaan animisme dan agama Hindu. Namun seiring ajaran agama Islam masuk yang dibawa oleh Sunan Prapen (cucu Sunan Giri), banyak masyarakat Bajo berpindah agama. Kerajaan Anak Agung Gedhe Agung yang menganut agama Hindu yang ketika itu berkuasa di pulau Lombok merasa eksistensinya terganggu, takut apabila banyak masyarakat Bajo memeluk Islam yang nantinya bisa dan mampu menggulingkan kekuasaan kerajaan.
Filsafat kehidupan suku Bajo di Bayan menilai antara kebudayaan dan Agama Islam mempunyai korelasi inklusif. Tidak adanya perbedaan, antara kebudayaan dan Agama Islam, semua itu disingkronisasi oleh peradaban.Kebudayaan merupakan keseluruhan dari hasil budidaya manusia baik cipta, karsa dan rasa. Kebudayaan berwujud gagasan/ide, perilaku/ aktivitas dan benda-benda. Sedangkan peradaban adalah bagian-bagian dari kebudayaan yang tinggi, halus, indah dan maju.
Masyarakat suku Bajo Bayan memiliki filosofi yang sering disebut dengan Wetu Telu. Makna dari kata Wetu adalah Keluar, sedangkan Telu adalah Tiga. Jadi Wetu Telu adalah Keluarnya tiga Filosofi kehidupan suku Bajo, yaitu Beranak (diperuntukkan manusia, dan hewan mamalia), Bertelur (diperuntukkan unggas dan ikan) dan Tumbuh (diperuntukkan tumbuh-tumbuhan).
Wetu Telu juga mempunyai tiga fase dari kehidupan makhluk hidup, yaitu fase pertama kelahiran, fase kedua adalah kehidupan, fase ketiga adalah kematian. Ketiga fase ini memiliki pola hubungan yang sama, dan setiap individu manusia memiliki perbedaan dinamika kehidupan yang berbeda. Khususnya manusia yang diberikan akal dan pikiran oleh Allah SWT akan mempertanggung jawabkan apa yang telah dilakukannya selama hidup Dari ketiga makna ini mempunyai arti bahwa manusia merupakan satu kesatuan dari alam, yang tersirat dari filsafat kosmologi kehidupan dan budaya.
Dalam sistem birokrasi suku Bajo bukanlah merupakan kerajaan, tetapi merupakan sebuah sistem kedatukan. Inilah yang diungkapkan oleh Kiayi Santri yang bernama Kasianom. Jadi setiap orang boleh menjadi Amaq Lokaq ( pemimpin adat) bisa keturunan Amaq Lokaq yang pernah memimpin, jikalau Amaq Lokaq yang sebelumnya tidak memiliki anak laki-laki atau adik laki-laki atau garis keturuanannya berjenis kelamin laki-laki, maka para pemirintah adat melakukan gundem (musyawarah) untuk memilih calon Amaq Lokaq yang baru, begitupula dengan pemerintahan adat yang lainnya
Seperti halnya masyarakat Jawa, suku Bajo juga mengenal adanya dewi padi. Jika orang Jawa mengenal Dewi Sri sebagai dewi kesuburan (dewi padi), maka orang Bajo mengenal dewi padi dengan sebutan Inak Sariti. Suku bajo hanya menanam varietas padi lokal dari golongan padi bulu. Hal ini dikarenakan varietas padi ini adalah varietas padi yang pertama kali ditanam di bangkat, sawah orang Bayan pertama kali. Selain itu, masyarakat percaya bahwa jika tidak menaman padi bulu, maka panen berikutnya akan gagal. Masyarakat setempat juga lebih menyukai varietas ini dikarenakan varietas padi ini menghasilkan nasi yang lebih pulen dan lebih enak.
Tradisi bertani di desa ini merupakan sebuah gambaran akan pentingnya menghargai makna dan nilai-nilai positif yang terkandung, untuk selalu dijaga dan dihormati tanpa berlebihan. Masyarakat desa hidup dan masih berpegang teguh pada aturan adat yang mengatur segala bentuk hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia maupun dengan makhluk yang lain serta lingkungan sekitar. Dan disisi lainnya sangat menghargai dan menjunjung tinggi atas nilai kehidupan. Demikianlah kearifan lokal yang dimiliki kampung adat Sasak. Sebagian kecil kearifan ini dapat kita refleksikan sebagai bentuk kekuatan bangsa kita.
Dalam aspek spiritual, timbulnya sistem kepercayaan kepada "Sang Hyang" (Sang Pencipta, Sang Pemelihara, dll). Kepercayaan Animisme dan Dinamisme yang ada dalam pribadi manusia Indonesia ini. Kepercayaan kepada leluhur yang telah memberikan keberkahan hidup melalui mitologi-mitologi (foklor) dan hal ini ketika diaplikasikan dalam tatanan sosial, akan sistem kekeluargaan yang kental.
Sistem kekeluargaan yang kental dalam daerah atau tempat ini disebut dengan desa. Desa adalah istilah untuk desa di Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Di wilayah lain Kepulauan Indonesia berbagai nama berbeda dipakai; gampong, kampong, kuta, nagari, dst. Kampong atau gampong dipakai oleh orang Eropa di Indonesia untuk menunjuk pada permukiman Indonesia dimanapun. Artinya, sebuah sistem masyarakat di Indonesia berdasar pada genetika keluarga, sehingga tumbuh menjadi wilayah yang disebut perkampungan.
Sistem kekeluargaan (familization), membentuk suatu sistem nilai yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Seperti di kampung adat lombok yang memiliki sistem nilai dan penyatuan antara agama dan budaya. Antara Islam dan budaya Sasak, dan antara Hindu dengan budaya Sasak. Menariknya, dalam singkretisme agama dan budaya saling mengajarkan kebaikan.
Sejarah singkat kampung Karang Bajo adalah masyarakat yang berprofesi sebagai pelaut ulung dan penggarap pertanian. Nah, nama Karang Bajo itu memiliki filosofi sendiri. Karang yang berarti kuat, tegar, tangguh. Dan Bajo berasal dari nama seorang leluhur mereka. Yang sangat hebat dalam melaut, dan hebat juga dalam bercocok tanam. Kemudian kampung Karang Bajo adalah nama wilayah keturunan dari Bajo.
Pada awalnya, Suku Bajo memeluk kepercayaan animisme dan agama Hindu. Namun seiring ajaran agama Islam masuk yang dibawa oleh Sunan Prapen (cucu Sunan Giri), banyak masyarakat Bajo berpindah agama. Kerajaan Anak Agung Gedhe Agung yang menganut agama Hindu yang ketika itu berkuasa di pulau Lombok merasa eksistensinya terganggu, takut apabila banyak masyarakat Bajo memeluk Islam yang nantinya bisa dan mampu menggulingkan kekuasaan kerajaan.
Filsafat kehidupan suku Bajo di Bayan menilai antara kebudayaan dan Agama Islam mempunyai korelasi inklusif. Tidak adanya perbedaan, antara kebudayaan dan Agama Islam, semua itu disingkronisasi oleh peradaban.Kebudayaan merupakan keseluruhan dari hasil budidaya manusia baik cipta, karsa dan rasa. Kebudayaan berwujud gagasan/ide, perilaku/ aktivitas dan benda-benda. Sedangkan peradaban adalah bagian-bagian dari kebudayaan yang tinggi, halus, indah dan maju.
Masyarakat suku Bajo Bayan memiliki filosofi yang sering disebut dengan Wetu Telu. Makna dari kata Wetu adalah Keluar, sedangkan Telu adalah Tiga. Jadi Wetu Telu adalah Keluarnya tiga Filosofi kehidupan suku Bajo, yaitu Beranak (diperuntukkan manusia, dan hewan mamalia), Bertelur (diperuntukkan unggas dan ikan) dan Tumbuh (diperuntukkan tumbuh-tumbuhan).
Wetu Telu juga mempunyai tiga fase dari kehidupan makhluk hidup, yaitu fase pertama kelahiran, fase kedua adalah kehidupan, fase ketiga adalah kematian. Ketiga fase ini memiliki pola hubungan yang sama, dan setiap individu manusia memiliki perbedaan dinamika kehidupan yang berbeda. Khususnya manusia yang diberikan akal dan pikiran oleh Allah SWT akan mempertanggung jawabkan apa yang telah dilakukannya selama hidup Dari ketiga makna ini mempunyai arti bahwa manusia merupakan satu kesatuan dari alam, yang tersirat dari filsafat kosmologi kehidupan dan budaya.
Dalam sistem birokrasi suku Bajo bukanlah merupakan kerajaan, tetapi merupakan sebuah sistem kedatukan. Inilah yang diungkapkan oleh Kiayi Santri yang bernama Kasianom. Jadi setiap orang boleh menjadi Amaq Lokaq ( pemimpin adat) bisa keturunan Amaq Lokaq yang pernah memimpin, jikalau Amaq Lokaq yang sebelumnya tidak memiliki anak laki-laki atau adik laki-laki atau garis keturuanannya berjenis kelamin laki-laki, maka para pemirintah adat melakukan gundem (musyawarah) untuk memilih calon Amaq Lokaq yang baru, begitupula dengan pemerintahan adat yang lainnya
Seperti halnya masyarakat Jawa, suku Bajo juga mengenal adanya dewi padi. Jika orang Jawa mengenal Dewi Sri sebagai dewi kesuburan (dewi padi), maka orang Bajo mengenal dewi padi dengan sebutan Inak Sariti. Suku bajo hanya menanam varietas padi lokal dari golongan padi bulu. Hal ini dikarenakan varietas padi ini adalah varietas padi yang pertama kali ditanam di bangkat, sawah orang Bayan pertama kali. Selain itu, masyarakat percaya bahwa jika tidak menaman padi bulu, maka panen berikutnya akan gagal. Masyarakat setempat juga lebih menyukai varietas ini dikarenakan varietas padi ini menghasilkan nasi yang lebih pulen dan lebih enak.
Tradisi bertani di desa ini merupakan sebuah gambaran akan pentingnya menghargai makna dan nilai-nilai positif yang terkandung, untuk selalu dijaga dan dihormati tanpa berlebihan. Masyarakat desa hidup dan masih berpegang teguh pada aturan adat yang mengatur segala bentuk hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia maupun dengan makhluk yang lain serta lingkungan sekitar. Dan disisi lainnya sangat menghargai dan menjunjung tinggi atas nilai kehidupan. Demikianlah kearifan lokal yang dimiliki kampung adat Sasak. Sebagian kecil kearifan ini dapat kita refleksikan sebagai bentuk kekuatan bangsa kita.
sumber : http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&jd=Kampung+Adat+Bayan+Lombok+Utara&dn=20120317225716
0 komentar:
Posting Komentar