Senin, 05 Maret 2012

Hukum Atas perbuatan Manusia

Telah dijelaskan bahwa asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syara’, yaitu hukum-hukum yang terkait dengan perbuatan manusia yang dipahami dari seruan asy-Syari’, baik berupa tuntutan (الإقتضاء) maupun pemberian pilihan (التخيير). Hukum-hukum ini dipahami sesuai dengan shighat ath-thalab, apakah bermakna tuntutan (الإقتضاء) atau pemberian pilihan (التخيير),

Yang menentukan jenis dari thalab adalah adanya indikasi (qarinah), baik qarinah tersebut terdapat pada nash itu sendiri, atau pada nash lain. Dari pengkajian terhadap penunjukan (dilaalah) dari seruan asy-Syari’ yang menjelaskan perbuatan manusia, diketahui bahwa hukum atas perbuatan manusia terbagi menjadi lima, yaitu:

1. Fardhu atau Wajib

Yaitu apabila terdapat nash syar’i berbentuk shighat amr atau yang semakna dengannya. Dari shighat tersebut kita bisa memahami ada tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan. Kemudian kita mencari qarinah yang menunjukkan bahwa tuntutan tersebut bersifat pasti (penjelasan detil tentang qarinah akan diberikan di tulisan berikutnya, insya Allah). Dari shighat (bentuk) yang berisi tuntutan dan dari qarinah yang menunjukkan tuntutan tersebut bersifat pasti, diketahui bahwa perbuatan tersebut hukumnya wajib.

Contohnya adalah firman Allah ta’ala:

قاتلوا الذين لا يؤمنون بالله ولا باليوم الآخر ولا يحرمون ما حرم الله ورسوله

Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada Hari Akhi, dan tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” [at-Taubah ayat 29]

Pada ayat di atas, Allah memerintahkan untuk berjihad atau berperang dengan kata qaatiluu (قاتلوا). Perintah tersebut bersifat pasti dengan qarinah dari ayat lain, yaitu:

إلا تنفروا يعذبكم عذابا أليما

Artinya: “Jika kalian tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan menyiksa kalian dengan siksaan yang sangat pedih.” [at-Taubah ayat 39]

Dari sini bisa kita pahami bahwa perintah berjihad merupakan perintah dengan tuntutan yang bersifat pasti (jazm), sehingga jihad hukumnya fardhu atau wajib.

Sebagai tambahan, ada sebagian fuqaha yang membedakan antara fardhu dan wajib, misalnya kalangan Hanafiyah, namun yang benar adalah tidak ada perbedaan antara fardhu dan wajib, keduanya memiliki makna yang sama, baik dalam istilah fiqih maupun ushul fiqih.

2. Mandub

Yaitu apabila terdapat nash syar’i yang memberi arti adanya tuntutan, kemudian terdapat qarinah yang memberi arti tarjih sekaligus menunjukkan tuntutan tersebut tidak bersifat pasti. Dari tuntutan yang sifatnya tidak pasti dan memberikan arti tarjih ini, diketahui bahwa perbuatan tersebut hukumnya mandub (sunnah, tidak wajib).

Contohnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

صلاة الجماعة تفضل على صلاة الفرد بسبع وعشرين درجة

Artinya: “Shalat jama’ah itu lebih utama dari shalat sendirian dua puluh tujuh derajat” [HR. al-Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad, an-Nasa-i dan Ibn Majah]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits di atas memerintahkan untuk shalat berjama’ah, meskipun tuntutannya tidak berbentuk shighat amr, melainkan dalam bentuk lain yang semakna dengannya (penjelasan tentang shighat amr dan bentuk lain yang semisal dengannya akan dijelaskan kemudian, insya Allah). Kemudian ada dalil lain sebagai qarinah yang menunjukkan bahwa perintah shalat berjama’ah tuntutannya tidak pasti (‘adam al-jazm). Dalilnya adalah diamnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sekelompok kaum muslimin yang shalat sendirian. Karena shalat berjama’ah merupakan upaya pendekatan diri kepada Allah, maka shalat berjama’ah hukumnya mandub.

Perlu diketahui, ‘ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat berjama’ah, namun Syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah, penulis kitab Taysir al-Wushul ila al-Ushul berpendapat shalat berjama’ah hukumnya mandub, berdasarkan penjelasan di atas.

3. Haram

Yaitu apabila terdapat nash syar’i yang menunjukkan adanya tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, baik berbentuk shighat nahy atau yang semakna dengannya. Kemudian terdapat qarinah yang menunjukkan bahwa tuntutan tersebut bersifat pasti. Tuntutan yang bersifat pasti untuk meninggalkan suatu perbuatan menunjukkan perbuatan tersebut hukumnya haram.

Contohnya adalah firman Allah ta’ala:

ولا تقربوا الزنا إنه كان فاحشة وساء سبيلا

Artinya: “Dan janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.” [al-Israa' ayat 32]

Ayat di atas menunjukkan tuntutan yang bersifat pasti untuk meninggalkan suatu perbuatan, dengan penunjukan dari frase laa taqrabuu (لا تقربوا) dan qarinah إنه كان فاحشة وساء سبيلا. Dengan demikian, zina hukumnya haram.

4. Makruh

Yaitu apabila terdapat nash syar’i yang menunjukkan adanya tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, baik berbentuk shighat nahy atau yang semakna dengannya. Kemudian terdapat qarinah yang menunjukkan bahwa tuntutan tersebut tidak bersifat pasti. Tuntutan yang tidak bersifat pasti untuk meninggalkan suatu perbuatan menunjukkan perbuatan tersebut hukumnya makruh.

Contohnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

من كان موسرا ولم ينكح فليس منا

Artinya: “Barangsiapa yang mampu tapi tidak menikah, maka ia bukan termasuk golonganku.” [HR. al-Baihaqi]

Hadits di atas menunjukkan adanya larangan untuk tidak menikah. Kemudian terdapat qarinah yang menunjukkan bahwa larangan tersebut tidak bersifat pasti, yaitu diamnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sebagian orang yang mampu namun tidak menikah. Dari sini bisa dipahami, tidak menikahnya orang yang mampu hukumnya makruh.

5. Mubah

Yaitu apabila terdapat nash syar’i yang menunjukkan adanya pemberian pilihan, untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkan perbuatan tersebut, berdasarkan qarinah yang ada. Hal ini menunjukkan perbuatan tersebut hukumnya mubah.

Contohnya adalah firman Allah ta’ala:

وإذا حللتم فاصطادوا

Artinya: “Dan apabila kalian telah bertahallul, maka berburulah.” [al-Maa-idah ayat 2]

Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk berburu setelah selesai ihram. Akan tetapi perintah tersebut tidak menunjukkan bahwa berburu setelah selesai ihram hukumnya fardhu ataupun mandub. Hal itu hanya menunjukkan hukumnya mubah, dengan adanya qarinah lain, yaitu bahwa Allah ta’ala memerintahkan berburu setelah ihram, padahal Allah ta’ala melarangnya selama ihram. Allah ta’ala berfirman:

غير محلي الصيد وأنتم حرم

Artinya: “Tidak menghalalkan berburu ketika kalian sedang berihram.” [al-Jumu'ah ayat 10]

Jadi, berburu setelah selesainya ihram kembali ke hukum asalnya, yaitu mubah.

Demikianlah lima hukum atas perbuatan manusia. Semoga bermanfaat.

Bahan Bacaan

1. asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Juz 3, karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Penerbit Daar al-Ummah, Beirut-Libanon

2. Taysir al-Wushul ila al-Wushul, karya Syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah, Penerbit Daar al-Ummah, Beirut-Libanon

3. al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, terbitan Kementerian Waqaf dan Urusan Keislaman, Kuwait

0 komentar:

Posting Komentar